Jangan pernah ada dusta diantara kita
Entah apalah jadinya kalau Soekarno dan Hatta masih hidup, dan mendengar ide dari salah seorang bodoh yang berencana akan memproduksi secara massal kalung antivirus corona dari bahan eucalyptus alias minyak kayu putih.
Pertanyaan pertama dari kedua beliau itu tentunya adalah, kenapa antivirus corona tersebut harus berbentuk kalung, bukan sabuk dengan kepala gir atau malah golok misalnya, karena kegunaannya itu adalah untuk “membunuh virus.”
Pertanyaan kedua tentunya adalah, “dari mana tuan tahu kalau eucalyptus di dalam kalung itu bisa membunuh Covid-19. Apakah kalung ini sudah melewati uji klinis pada manusia yang harus melalui beberapa tahapan itu?
Apakah obat ini sudah ada izin edarnya dari BPOM (Balai Pengawasan Obat dan Makanan) agar bisa diperjual-belikan ditengah-tengah masyarakat
Apakah Menteri Kesehatan sudah diberi tahu mengenai khasiat dari kalung ajaib ini? Apalagi Menkes adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kesehatan warga di republik ini.
Selain itu, mengapa Kementan menggandeng pihak swasta untuk memproduksi kalung ajaib ini?
Bukankah negeri ini memiliki BUMN produsen obat berpengalaman seperti Indofarma, Kimia Farma, atau Bio Farma yang bisa diajak bekerjasama?
Entah lah. Mungkin saja BUMN produsen obat itu tidak tertarik untuk memproduksi “obat yang tak-jelas” asal usulnya itu.
Atau bisa saja mereka itu memang sengaja tidak diajak karena “susah diatur” dan “susah diboongin,” atau malah “lebih pinter ngeboonginnya” sehingga yang punya ide nantinya malahan hanya kebagian kulit eucalyptus-nya saja…
Uji klinis terhadap “kalung ajaib ini “ jelas belum, karena penelitiannya masih tahap uji molecular dan uji in vitro di laboratorium Balitbangtan.
Jadi penelitiannya masih dilakukan dalam tabung reaksi dan piring kultur sel, dan belum diujicobakan dalam tubuh mahluk hidup seperti cebong, kodok, kampret atau kadal gurun misalnya.
Nah, bermodalkan uji molecular dan uji in vitro di laboratorium Balitbangtan saja, Kepala Badan Litbang Pertanian Kementan, Fadjry Djufry dan bos-nya itu “berani” meng-klaim kehandalan minyak kayu putih ini untuk membunuh Covid-19. Bukan itu saja, mereka juga berencana untuk memproduksi secara massal dan memperjual-belikan minyak kayu putih ini sebagai obat untuk pengobatan Covid-19!
Pihak Kementan ini jelas “berbicara” di luar tupoksinya. Ironisnya lagi Kementan ini tidak memahami prosedur dan tahapan-tahapan yang harus dilalui dari sebuah penemuan obat baru hingga ke tahap pemasaran obat itu nantinya.
Bukan hanya gegabah, tetapi tindakan ini juga melawan undang-undang kesehatan dan peredaran obat.
Tapi tampaknya menteri ini sadar betul kalau orang Indonesia itu sangat percaya kepada takdir.
Orang lahir, jatuh cinta, kawin, berselingkuh, sakit dan mati pun karena takdir. Memang ada juga sebagian warga yang berani melawan takdir, misalnya ketika diputus pacar pas lagi sayang-sayangnya.
Mereka ini lalu memanggil dukun untuk bertindak. Tapi jumlah orang seperti ini sangatlah kecil.
Jadi kalau nantinya kalung ini pun tidak sesuai dengan ekspektasi, maka ini pun bisa diterima sebagai sebuah takdir juga…
***
Lantas, apa kira-kira tanggapan Soekarno dan Hatta terhadap isu ini?
Sang proklamator pastinya akan sedih dan kecewa melihat kenyataan ini. “Kemerdekaan itu ternyata adalah sebuah kesalahan besar!”
Dulu mereka ini buta, tetapi masih dapat berjalan di kegelapan. Kini matanya celik tetapi sering terjatuh di tempat yang terang benderang
Kalau sekiranya londo-londo itu tetap dibiarkan menjajah negeri ini, tentulah "ketololan-ketololan" seperti ini tidak akan pernah berlaku pula!
Dulu akses Pendidikan itu sangat terbatas, karena itu warga menaruh otaknya di kepala agar bisa bernalar didalam keterbatasan ilmu.
Kini akses Pendidikan terbuka tanpa batas, karena itu warga menaruh otaknya di dengkul, agar kepalanya itu tidak capai dipakai untuk bernalar dalam memahami setiap persoalan.
Seratus tahun lalu, orang Aceh bisa naik kereta api dari Banda Aceh hingga ke Medan. Ketika anak negeri ini sendiri yang menjadi pengurus kereta api itu, bahkan baut dari rel itu pun tidak kelihatan lagi barang sebiji pun!
Kalau Jaran kepang dari Jawa Timur senang makan beling, maka “orang Aceh, Melayu dan Batak belum akan puas kalau belum makan besi rel kereta api!”
Sejak Indonesia jadi tuan rumah di negerinya sendiri, maka 600 KM rel kereta api Banda Aceh-Medan kemudian menghilang dari Sumatera.
Mudah-mudahan hal yang sama tidak terjadi di Freeport. Takutnya nanti tidak ada lagi orang Papua di Merauke. Lah, kemana mereka pindah? Mungkin ke Sabang…
***
Apakah penulis tidak percaya kalau minyak kayu putih itu bisa membunuh Covid-19?
Penulis hakul yakin, sama yakinnya dengan hand sanitizer, sabun anti septik atau air panas yang jelas-jelas bisa membunuh Covid-19. Air tajin bersuhu 100 derajat Celcius pun pasti akan sama khasiatnya dengan minyak kayu putih untuk membunuh Covid-19!
Lantas, kenapa hand sanitizer dan sabun tidak dibuatkan menjadi kalung saja untuk dijual sebagai obat antivirus?
Penulis justru lebih tertarik kepada behind the scene “cerita di belakang layar” terkait munculnya ide nyeleneh ini. Pintar itu penting. Tapi jauh lebih penting dari itu adalah cerdas dan bijaksana.
Sebelum kekonyolan ini terus berlanjut, ada baiknya pihak Kementan berkoordinasi dulu dengan Pihak Kemenkes dan juga KPK agar mereka ini terhindar “daripada” malapetaka dikemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H