Kalau sekiranya londo-londo itu tetap dibiarkan menjajah negeri ini, tentulah "ketololan-ketololan" seperti ini tidak akan pernah berlaku pula!
Dulu akses Pendidikan itu sangat terbatas, karena itu warga menaruh otaknya di kepala agar bisa bernalar didalam keterbatasan ilmu.
Kini akses Pendidikan terbuka tanpa batas, karena itu warga menaruh otaknya di dengkul, agar kepalanya itu tidak capai dipakai untuk bernalar dalam memahami setiap persoalan.
Seratus tahun lalu, orang Aceh bisa naik kereta api dari Banda Aceh hingga ke Medan. Ketika anak negeri ini sendiri yang menjadi pengurus kereta api itu, bahkan baut dari rel itu pun tidak kelihatan lagi barang sebiji pun!
Kalau Jaran kepang dari Jawa Timur senang makan beling, maka “orang Aceh, Melayu dan Batak belum akan puas kalau belum makan besi rel kereta api!”
Sejak Indonesia jadi tuan rumah di negerinya sendiri, maka 600 KM rel kereta api Banda Aceh-Medan kemudian menghilang dari Sumatera.
Mudah-mudahan hal yang sama tidak terjadi di Freeport. Takutnya nanti tidak ada lagi orang Papua di Merauke. Lah, kemana mereka pindah? Mungkin ke Sabang…
***
Apakah penulis tidak percaya kalau minyak kayu putih itu bisa membunuh Covid-19?
Penulis hakul yakin, sama yakinnya dengan hand sanitizer, sabun anti septik atau air panas yang jelas-jelas bisa membunuh Covid-19. Air tajin bersuhu 100 derajat Celcius pun pasti akan sama khasiatnya dengan minyak kayu putih untuk membunuh Covid-19!
Lantas, kenapa hand sanitizer dan sabun tidak dibuatkan menjadi kalung saja untuk dijual sebagai obat antivirus?
Penulis justru lebih tertarik kepada behind the scene “cerita di belakang layar” terkait munculnya ide nyeleneh ini. Pintar itu penting. Tapi jauh lebih penting dari itu adalah cerdas dan bijaksana.
Sebelum kekonyolan ini terus berlanjut, ada baiknya pihak Kementan berkoordinasi dulu dengan Pihak Kemenkes dan juga KPK agar mereka ini terhindar “daripada” malapetaka dikemudian hari.