Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Luciano, Kisah Lelaki Penggebuk Kepala Suharto di Dresden

19 Juni 2020   16:33 Diperbarui: 19 Juni 2020   16:38 2194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Luciano 'Romano' Valentim Conceixao, sumber : https://indomedia.com.au/wp-content/uploads/2019/10/vvip-konjen.jpg

April 1995 penduduk RI di tanah air mendengar desas desus bahwa rombongan Presiden Suharto yang sedang melawat ke Jerman di demo. Informasi simpang siur apakah rombongan didemo warga RI yang berada di luar negeri, ataukah oleh warga asing yang anti Suharto.

Setelah rombongan sampai di tanah air barulah diketahui bahwa bus rombongan Presiden itu ternyata digebuk-gebuk oleh pendemo campuran WNI dengan asing.

Tapi itu bukan cerita sebenarnya.

Rabu 5 April 1995, tepat pada pukul 10.30, bus rombongan Presiden Suharto tiba di halaman parkir Museum Zwinger kota Dresden, Jerman. Kunjungan ini adalah bagian dari rangkaian perjalanan Presiden Suharto ke Jerman untuk mempererat hubungan bilateral kedua negara.

Ini menjadi kunjungan kedua bagi Presiden Suharto setelah sebelumnya berkunjung pada 1991.

Suasana cukup tenang, langit pun cerah ketika rombongan Presiden Suharto turun dari bus.

Dekat gerbang museum ada sekitar seratusan orang warga Jerman yang terlihat seperti turis biasa. Tampak juga belasan polisi lokal berjaga-jaga untuk mengamankan rombongan Presiden Suharto.

Presiden Suharto beserta Ibu Tien didampingi oleh menteri-menteri seperti BJ Habibie, Ali Alatas dan rombongan lainnya kemudian berjalan kaki menuju pintu museum, dikawal oleh Paspampres yang dipimpin oleh Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Regu A.

Di tengah perjalanan rombongan menuju pintu masuk museum, tiba-tiba semuanya berubah menjadi petaka. Dimotori oleh trio aktivis Kelompok Pembebasan Timor Timur, Luciano, Vitor Tavarez dan Jose Manuel, seratusan orang yang terlihat seperti turis biasa tadi serempak menggelar demo anti Suharto. Sebagian dari mereka menggelar poster. Sebagian lagi mengeluarkan spatula, panci hingga penggorengan untuk membuat keributan.

Suasana semakin kacau ketika ada sebagian dari pendemo melempari rombongan Suharto dengan telur busuk. Perisai payung terpaksa dikembangkan Paspampres untuk menghindari serangan telur.  

Polisi Jerman kaget karena tidak mengantisipasi hal ini sebelumnya. Selain itu, mereka juga kalah jumlah dari pendemo.

Di tengah-tengah kekacauan itu, rombongan pendemo berusaha bergerak mendekati rombongan Presiden yang berusaha masuk ke dalam museum. Polisi Jerman sibuk menahahan pendemo sementara Paspampres berusaha mengamankan Presiden Suharto.

Dengan gesit Luciano kemudian berhasil lolos mendekati rombongan, dan kini dia berjarak hanya dua meter saja dari Presiden Suharto.

Sjafrie Sjamsoeddin kemudian terlambat menyadari kalau jarak Luciano itu sudah terlalu dekat dengan sang presiden. Ia kemudian berusaha menghalau Luciano. Tapi usahanya itu justru terhalang oleh gerak polisi Jerman.

Dalam hitungan detik, Luciano sudah berada di dekat Suharto. Tangan kanannya memegang megafon sementara tangan kirinya memegang gulungan koran.

Lalu terjadilah insiden yang menghebohkan dunia tersebut! Gulungan koran di tangan kiri Luciano kemudian menyambar kepala Suharto. Cukup keras namun tak sampai menjatuhkan pecinya!

Soal peci ini kemudian menjadi perdebatan, karena ada yang mengatakan bahwa peci Suharto memang terlepas. Tapi apapun itu, Suharto hanya bisa meringis menahan malu ketika rombongan kemudian berhasil masuk ke dalam museum.

Di dalam museum yang kebetulan memamerkan lukisan karya Raden Saleh tersebut rombongan Suharto berada selama 45 menit.  Syafrie kemudian memindahkan Presiden Suharto dan Ibu Tien ke mobil biasa, dan keluar lewat pintu samping.

Rombongan lain termasuk menteri kemudian keluar dengan naik bus. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Para pendemo ternyata telah menunggu dengan berbaring di jalan. Tampaknya polisi Jerman juga membiarkan saja para pendemo melakukan aksinya.

Ilustrasi Ali Alatas dari dalam bis menunjukkan jari tengah kepada demonstran di Museum Dresden 1995, sumber : https://cdn2.tstatic.net/jabar/foto/bank/images/ali-alatas_20180523_102314.jpg
Ilustrasi Ali Alatas dari dalam bis menunjukkan jari tengah kepada demonstran di Museum Dresden 1995, sumber : https://cdn2.tstatic.net/jabar/foto/bank/images/ali-alatas_20180523_102314.jpg
Tak lama kemudian bus mulai digebuk-gebuk, diguncang-guncang dan didorong pendemo hingga mendekati sungai. Menteri Ali Alatas kemudian tak dapat menahan kegusaran hatinya.

Dalam momen kalut itu, seorang pendemo kemudian berhasil merekam foto Ali Alatas mengacungkan jari tengah kepadanya sambil berkata f-ck  y-u

Setelah insiden ini, Suharto kemudian membatalkan jadwal acara menonton di Dresden Opera House pada malam harinya.

Soal pembatalan ini, informasi yang beredar dari pihak lokal mengabarkan kalau justru para pemain orkestra itu sendiri yang kemudian menolak tampil dihadapan Presiden Suharto!

Walaupun terhitung "seupil" akan tetapi performa aktivis Kelompok Pembebasan Timor Timur ini tergolong luar biasa. Mereka berhasil memojokkan Suharto dan Indonesia di mata internasional terkait aneksasi Timor Timur oleh Indonesia.

Aktivis Kelompok Pembebasan Timor Timur ini bahkan mampu mempengaruhi polisi lokal dan pemerintahan daerah setempat untuk memusuhi Suharto. Apalagi banyak juga "haters Suharto" dari Sabang sampai Merauke, yang berada di Jerman mendukung gerakan ini.

Tanpa "kerja sama yang baik dengan pihak lokal," insiden yang menimpa Suharto ini mustahil bisa terjadi!

Lobi-lobi itu pun sudah dimulai sebulan sebelum kedatangan rombongan Suharto, yakni ketika trio  Luciano, Vitor Tavarez dan Jose Manuel berangkat dari Lisbon menuju Dresden untuk melobi parlemen dan kepolisian setempat.

Lobi-lobi itu ternyata cukup jitu. Pada 30 Maret 1995, Parlemen Kota Dresden mengeluarkan sikap, "rombongan Suharto tidak diterima di Dresden!"

Insiden Dresden ini kemudian memakan korban. Yang pertama adalah Komandan Paspampres, Brigadir Jenderal TNI Jasril Jakub yang lengser keprabon dari jabatannya.

Yang kedua adalah politikus PPP, Sri Bintang Pamungkas yang kebetulan sedang melawat ke Jerman, berbarengan dengan Suharto. SBP sendiri mengisi rangkaian kuliah umum di kampus-kampus Jerman.

SBP dicokok Tekab beberapa menit setelah menghirup udara Bandara Soeta. SBP kemudian diadili dengan tuduhan berbuat makar.

Tapi Luciano sendiri memastikan bahwa tidak ada seorangpun aktivis Indonesia, termasuk SBP yang terlibat dalam insiden ini.

Insiden Dresden ini kemudian menjadi tonggak sejarah. Kitab Babad Jawi, Primbon maupun erek-erek togel dibuka. Ada yang meramal kekuasaan Suharto akan jatuh persis seperti pecinya yang terjatuh ketika digebuk Luciano.

Yang lain meramal bahwa aktivis harus berhati-hati. Suharto sudah marah, apalagi dia mengeluarkan narasi "akan main gebuk" ketika konpres di dalam pesawat menuju Jakarta.

Berpandukan kitab Joyoboyo, yang lain meramalkan kalau kekuasaan Suharto akan seumuran jagung. Betul saja. Tiga tahun kemudian Suharto lengser keprabon madeg pandhita.

Tapi apa pun itu, insiden Dresden telah membuka mata banyak orang, Suharto sudah melemah. Kini saatnya untuk mulai bergerak!

***

Luciano 'Romano' Valentim Conceixao, sumber : https://indomedia.com.au/wp-content/uploads/2019/10/vvip-konjen.jpg
Luciano 'Romano' Valentim Conceixao, sumber : https://indomedia.com.au/wp-content/uploads/2019/10/vvip-konjen.jpg
Luciano Valentin de Conceixa lahir di Irara (248 kilo meter dari Dilli, ibu kota Timor Leste) pada 9 Juli 1972, tiga tahun sebelum Timor Leste resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia.

Ketika Luciano berumur dua tahun, TNI lewat Operasi Seroja kemudian masuk dan menghajar habis Fretilin dan pendukungnya. Orang tua Luciano kemudian membawanya lari masuk hutan dekat Los Palos. Di hutan mereka makan seadanya, belajar bertahan hidup.

Dalam sebuah operasi militer besar-besaran, ayah-ibu Luciano beserta banyak keluarga lainnya tewas terbunuh oleh militer dalam penyergapan di hutan. Setelah itu Luciano diasuh oleh saudara dekatnya.

Berkat bantuan seorang pastor, Luciano kemudian melanjutkan sekolahnya di Jakarta, dan kemudian merajut sebuah kisah hidup yang luar biasa.

Pada tahun 1994, saat berlangsungnya kunjungan Presiden Bill Clinton ke Indonesia, Luciano bersama teman-temannya kemudian berhasil menduduki Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Aksi ini kemudian menarik perhatian seluruh penjuru dunia.

Aksi ini meminta pembebasan Timor Leste sekaligus menuntut Amerika menekan Indonesia untuk bertanggung jawab terhadap pembantaian massal oleh TNI terhadap warga sipil dalam insiden Santa Cruz 1991. Akibat aksi ini Luciano menjadi buron. Ia kemudian mendapat suaka politik dari Portugal.

Bagi Lucio, masalah Timor Leste bukanlah masalah antara rakyat Timor Leste dengan Indonesia, PBB ataupun Portugal. Tapi masalah rakyat Timor Leste dengan komunitas Internasional, melalui dua resolusi PBB Dewan Keamanan dan beberapa resolusi majelis umum PBB yang merugikan rakyat Timor Leste.

Luciano menikah dua kali. Istrinya yang pertama kelahiran Jakarta, adalah anak seorang purnawirawan TNI yang pernah bertugas di Timor Timur. Pernikahan itu dikaruniai tiga orang anak.

Anak pertama Luciano lahir 1994, bersamaan dengan Konferensi Asia Pasifik di Jakarta, bersamaan pula dengan aksi Luciano menduduki Kedubes AS di Jakarta tadi.

Setelah itu Luciano beserta keluarganya hijrah ke Portugal. Anak keduanya pun lahir di Portugal. Anak ketiganya lahir di Timor Leste, setelah mereka kembali kesana.

Putra pertama Luciano (kini berusia 26 tahun) mengambil studi medis di London University. Sekarang ia memiliki perusahaan entertainment yang berbasis di London.

Anak kedua Luciano, seorang perempuan, bernama Gabriella adalah seorang artis tanah air yang wajahnya sering menghiasi layar TV nasional lewat berbagai sinetron dan film.

Gabriella sekarang mendalami modelling dan tinggal di Jakarta.

Anak ketiga Luciano, juga seorang perempuan, masih bersekolah di sebuah SMA dekat Kelapa Gading.

Setelah berpisah dengan istri pertamanya, Luciano kemudian menikah lagi dengan seorang pejabat negara Timor Leste, yang menjabat sebagai Inspektur Kejaksaan Agung.

Luciano sendiri tidak pernah menyangka kalau tindakan edannya di Dresden itu akan menjadi "bola salju" yang menggelinding semakin besar, membuat perubahan radikal bagi rakyat Indonesia dan Timor Leste.

Luciano mengaku tidak pernah bangga akan keberhasilannya menggebuk kepala Suharto.

"Itu hanya kemenangan kecil yang tak berarti. Puluhan ribu saudara sebangsa saya dibantai militer Indonesia. Tapi itulah harga yang harus dibayar. Di dunia ini tidak ada kemerdekaan gratis. Kita selalunya harus berjuang!"

Referensi,

https://indomedia.com.au/luciano-romano-valentin-de-conceixa-berjuang-lewat-diplomasi/

https://www.watchindonesia.de/19727/dresdens-rowdy-reception-for-suharto?lang=en

https://www.vice.com/id_id/article/wj7z59/kisah-lelaki-yang-nekat-menggebuk-presiden-suharto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun