Tahun 2015 kasus NB ini dibuka kembali. Namun NB tidak pernah mau memenuhi panggilan Polri. Apalagi Plt. Ketua KPK Taufiequrachman Ruki pun melarang NB untuk memenuhi panggilan Polri.
KPK dan buzzer-buzzer kemudian mengkaitkan pemanggilan ini dengan kasus tiga jenderal di atas.
Namun Polri tetap meneruskan kasus NB dan dinayatakan P21. Kejaksaan Negeri Bengkulu kemudian membuat dakwaan dan sudah didaftarkan untuk disidang perdana di PN Bengkulu.
Ketua PN Bengkulu lalu mengeluarkan SK hakim yang menangani dan mengeluarkan jadwal sidang.
Sekonyong-konyong Jaksa yang "ketakutan" segera menarik kembali berkas NB tersebut dan menghentikan penuntutan.
Korban yang kecewa lalu melakukan Praperadilan dan kemudian memenangkan Praperadilan tersebut. Artinya kasus penganiayaan oleh NB ini harus dilanjutkan. Namun Kejaksaan Negeri Bengkulu tidak pernah berani untuk melaksanakan perintah Pengadilan tersebut.
***
Dari uraian di atas jelas sudah terlihat kedua ujung dari benang kusut ini. Sebagai seorang penyidik top dan mantan Kasat Reskrim, NB jelas tahu betul awal dan ujung dari sinetron ini.
Kalau Jokowi dan rakyat RI mau kasus air keras ini selesai, maka selesaikan dulu kasus penganiayaan oleh NB dulu itu, karena kedua kasus ini saling terkait.
Apakah NB tahu keterkaitan ini? Jelas dong tahu! Karena itu ia berteriak  ada sosok Jenderal di belakang kasusnya.
Banyak pihak memang suka kasus ini mengambang. KPK sendiri ingin menjadikan NB sebagai ikon "lembaga yang tersakiti" dan bumper terhadap serangan dari Polri. Sebaliknya oknum di Polri justru memakai NB sebagai alat bargaining dengan KPK. Dan NB sendiri tentunya ingin terlepas dari dosa masa lalunya. Sementara buzzer-buzzer dari kedua belah pihak "cari makan" dari setiap kehebohan yang terjadi.