Stasiun Kebayoran Lama itu keren, diperlengkapi dengan escalator dan lift. Stasiunnya lumayan bersih diperlengkapi dengan toilet dan kursi yang nyaman untuk diduduki.
Tetapi begitu kita keluar dari stasiun, apa yang terjadi sodara-sodara sebangsa setanah air...
Stasiun Kebayoran Lama yang nemplok dengan Pasar Kebayoran Lama itu mengingatkan kita kepada lagu jadul Bill & Broad, Madu dan Racun.
Kalau Stasiun Kebayoran Lama itu jadi mawarnya maka Pasar Kebayoran Lama itu jadi durinya. Kalau Stasiun Kebayoran Lama itu jadi madunya maka Pasar Kebayoran Lama itu jadi racunnya. Lalu racun itu menelan habis madunya.
Stasiun Sudimara, Stasiun Palmerah dan juga mungkin beberapa stasiun lainnya itu sungguh tidak ramah bagi pengguna komuter yang berjalan kaki.
Dalam kondisi normal saja tidak nyaman, bagaimana lagi untuk menerapkan physical distancing?
Di negara-negara maju dan "beradab," komuter selalu menjadi andalan sebagai alat transportasi massal. Selain murah, cepat, aman, tentu saja sangat berguna untuk mengurangi polusi dan kemacetan.
Tetapi di sini Pemerintah Daerah justru bersikap setengah hati. Meminta warga agar mau naik transportasi umum, tetapi tidak mau membenahi sarananya! Seharusnya akses menuju stasiun itu dibuat senyaman mungkin agar orang super kaya hingga orang kere pun mau naik komuter.
Penulis sendiri angkat topi penuh hormat buat KCL dan para stafnya. Bagaimana mungkin dengan modal tiga ribu perak saja bisa naik kereta ber-AC dari Kebayoran Lama hingga BSD?
Tarif tiga ribu perak itu ternyata berlaku hingga jarak 25 km!
Mumpung masih dalam masa PSBB Transisi, Pemprov/Pemkab/Pemkot seharusnya membuat tim khusus gabungan (TNI, Polri, Satpol PP dan Pemda) untuk membenahi areal stasiun kereta agar bisa menerapkan protokol kesehatan bagi semua pengguna kereta.