Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komodor Ignatius Dewanto, Prajurit From Hero To Zero

27 Mei 2020   15:27 Diperbarui: 27 Mei 2020   15:28 2801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi persidangan Allan Pope, sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/24/Allen_Pope.jpg

Pagi tanggal 18 Mei 1958 di Pangkalan Udara TNI AU Liang, Kabupaten Maluku Tengah, Kapten (Penerbang) Igantius Dewanto tengah bersiap di kokpit P-51 Mustang. Dewanto ditugaskan ke Manado untuk menyerang Pangkalan Udara Mapanget (sekarang bernama Bandara Sam Ratulangi) yang menjadi pangkalan utama AUREV (Angkatan Udara Revolusioner, Permesta)

Beberapa saat sebelum take-off menuju Mapanget, Dewanto menerima kabar bahwa kota Ambon baru saja dibombardir oleh pesawat pembom B-26 Invader milik AUREV.

Dewanto kemudian mengarahkan pesawatnya menuju Ambon yang jaraknya memang tak jauh dari Lanud Liang.  Ketika berada di atas kota Ambon, Dewanto dapat melihat asap mengepul dan puing-puing yang berserakan, pertanda B-26 Invader belum jauh dari situ.

Tak lama kemudian, dekat Pulau Tiga, lepas Ambon, Dewanto melihat konvoi kapal perang ALRI terdiri dari dua kapal angkut dan lima kapal pelindung penyapu ranjau. Sekelebat kemudian terlihatlah sebuah B-26 Invader AUREV melaju ke arah konvoi. Sebuah bom yang dilepaskan dari B-26 Invader kemudian nyaris mengenai sebuah kapal penyapu ranjau.

Dewanto segera memburu B-26 Invader itu, dan beruntung bisa tepat berada di belakangnya. Ia segera menembakkan roketnya, tetapi meleset.

Tak ingin kehilangan momentum, alumnus Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA) Bakersfield, California ini kemudian menghujani B-26 tersebut dengan senapan mesin 12,7 mm.

B-26 Invader itu kemudian tumbang meninggalkan kobaran api dan asap tebal di tubuhnya. Tak lama kemudian dua buah parasut terlontar dari pesawat. Namun keduanya berhasil ditangkap personil ALRI yang mereka tembaki tadi.

Yang satu bernama Harry Rantung (Permesta) Padahal tadinya ia mengaku bernama Pedro dari Filipina. Malang baginya, ternyata seorang awak kapal ALRI mengenalinya sebagai kopral AURI di Pangkalan Morotai.

Yang satu lagi, Ya Allah... Allen Pope (CIA) yang juga mantan perwira tempur USAF. Hal itu kemudian membuat USA malu di mata dunia, karena ketahuan "berzinah di ranjang" orang lain!

Sial bagi Dewanto, ternyata B-26 Invader itu kembar! Saat dalam perjalanan pulang, Dewanto berpapasan dengan B-26 Invader lainnya yang diterbangkan oleh Connie Seigrist, penerbang Amerika. Pertempuran udarapun tidak terelakkan. Dogfight satu lawan satu itu berakhir seri tanpa ada pesawat yang terjatuh, tetapi kedua pesawat itu mengalami kerusakan yang cukup signifikan.

Tertangkapnya Allen Pope ini sontak membuat peta pertempuran RI-AUREV berubah total.

Kekuatan utama AUREV itu terletak pada skuadron tempur udaranya yang jelas-jelas didukung oleh Amerika. Pangkalan udara AUREV bukan hanya Mapanget di Manado saja, tetapi juga Pangkalan Udara Clark di Filipina yang daya tempurnya bisa menjangkau Kalimantan, Ambon bahkan Jawa!

RI sebelumnya selalu menderita kerugian besar akibat serangan udara pesawat-pesawat AUREV ini.

Tertangkapnya Pope membuat USA mingkem. Kini AUREV hanya bisa mengandalkan Mapanget dan penerbang lokal saja (yang sebelumnya hijrah dari TNI-AU) karena skuadron Clark sudah resmi ditutup.

Akhirnya AUREV tinggal menghitung hari saja untuk tereliminasi dari angkasa Nusantara.

Apa yang dilakukan Igantius Dewanto itu tampak sederhana saja. Ia menembak jatuh pesawat musuh, dan tak perlu heran sebab ia adalah salah seorang penerbang terbaik TNI-AU, lulusan USA pula.

Tetapi ia kemudian mengubah sejarah.

Pertama, B-26 Invader AUREV itu adalah satu-satunya (sampai saat ini) pesawat musuh yang berhasil ditembak jatuh oleh seorang penerbang TNI-AU!

Kedua, jatuhnya B-26 Invader AUREV itu kemudian membuat USA menarik dukungannya terhadap Permesta, sehingga pemberontakan Permesta itu kemudian bisa segera diakhiri.

Ketiga, berkat jasa Dewanto dan diplomasi brilian Soekarno, Indonesia kemudian berhasil memaksa Amerika Serikat agar bersikap netral dalam kasus Irian Barat, dan mencabut embargo ekonomi dan alutsista termasuk suku cadang pesawat tempur kepada Indonesia.

Sebagai langkah pertama Soekarno kemudian mengimpor beras dari Amerika dengan pembayaran memakai Rupiah!

Kini "arah anginpun berbalik!" Eisenhower (presiden Amerika Serikat ketika itu) meminta pilotnya dikembalikan. Namun Sukarno bergeming, malah balik memakinya.

John F. Kennedy kemudian naik menjadi presiden menggantikan Eisenhower. Ia berusaha membujuk Soekarno dengan mengundangnya plesiran ke Amerika. Tapi Kennedy keburu meninggal kena tembak. Lyndon Johnson yang menggantikannya, semula berusaha mengingkari kesepakatan Kennedy dengan Soekarno. Akan tetapi akhirnya harus membayar lebih mahal lagi!

Gegara Pope tertangkap, Amerika harus menanggung malu kepada dunia internasional. Amerika lalu meninggalkan PRRI dan Permesta. Kini pasokan senjatapun menguap. Permesta hanya bisa bertahan seadanya. Tetapi bukan hanya Permesta saja yang menderita. Kini petualangan PRRI di Sumatera pun tinggal menghitung hari...

Karena tidak tahan didesak keluarga Pope dan sorotan internasional, Presiden Lyndon Johnson lalu melakukan barter untuk pembebasan Pope. Soekarno akhirnya mendapat satu skuadron Hercules, terdiri dari delapan kargo dan dua tanker, persenjataan dan fulus yang dipakai untuk mengusir Belanda dari Papua sebagai tebusan Allen Pope. Soekarno akhirnya mampu membuat tiga presiden USA harus menanggung malu untuk membujuknya dalam drama empat tahun itu.

Ilustrasi persidangan Allan Pope, sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/24/Allen_Pope.jpg
Ilustrasi persidangan Allan Pope, sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/24/Allen_Pope.jpg

Kembali kepada Permesta, pemerintah kemudian menawarkan amnesti, yang langsung diterima oleh seluruh personel Permesta. Hebatnya lagi, sebagian dari petinggi Permesta seperti Kawilarang tetap saja disebut pahlawan.

Tidak seperti petinggi pemberontak lainnya yang harus melarikan diri keluar negeri atau dihukum, Tentara eks Permesta masih diterima di tubuh TNI dengan pangkat diturunkan. Misalnya pada Brigjen Kawilarang yang pangkatnya diturunkan menjadi Kolonel.

Nasib terbalik justru menimpa pilot pesawat tempur Mustang P-51 AURI yang berhasil menembak jatuh B-26 Invader yang dipiloti Allen Pope dan Harry Rantung, yaitu Kapten (Pnb) Ignatius Dewanto. Perubahan politik setelah peristiwa G30S kemudian mengubah jalan hidupnya.

Sebagaimana isu miring yang dituduhkan Soeharto kepada para perwira AU, Dewanto kemudian sempat ditahan di Pangkalan Halim.

Tanpa alasan jelas, Soeharto kemudian memaksa Dewanto untuk mundur dari jabatannya sebagai perwira tinggi TNI AU. Ketika peristiwa G30S itu terjadi Dewanto menjabat sebagai Deputi Menteri/Panglima Angkatan Udara merangkap Direktur Intelijen AURI.

Ignatius Dewanto lalu diberhentikan dengan hormat dari dinas tentara terhitung 31 Maret 1967. Sejak itu Dewanto kemudian menjadi pengangguran.

Selepas dari dinas tentara, untuk bertahan hidup, Dewanto kemudian menjadi sopir truk. Sungguh ironis, seorang penerbang terbaik TNI AU, mantan Direktur Intelijen AURI pemegang 16 tanda kehormatan dengan pangkat Komodor TNI AU itu kini harus menjadi sopir truk!

Setelah itu Dewanto kemudian diterima bekerja sebagai pilot penerbang pesawat sipil PT SMAC di Medan.

Pada tahun 1970 Dewanto menerbangkan pesawat Piper PA-23 Aztec SMAC dari Medan ke Aceh. Naas, pesawat itu kemudian jatuh karena kerusakan mesin. Jenazahnya baru ditemukan delapan tahun kemudian pada tahun 1978.

Atas izin Soeharto, jenazahnya kemudian dimakamkan di TMP Kalibata. 20 tahun setelah Dewanto menembak  jatuh Bomber B-26 Invader Pope, barulah negaranya memperlakukan pemegang 16 tanda kehormatan ini sebagai  seorang Hero.

Ignatius Dewanto seorang kesatria Jawa lahir dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem di Kalasan, Yogyakarta pada 9 Agustus 1929.

Toto (panggilan Dewanto) merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Sebelum berkarir di TNI-AU, Dewanto adalah anggota TP (Tentara Pelajar) bergabung dengan kesatuan Slamet Riyadi.

Dewanto sendiri termasuk dalam rombongan 60 kadet AURI yang dikirim ke TALOA Academy of Aeronautics di California, USA tahun 1950.

Bersama dengan Omar Dhani dan beberapa penerbang terbaik lainnya, Dewanto belakangan pulang ke Indonesia karena disiapkan untuk menjadi instruktur AURI nantinya.

Meitie istri Dewanto mengisahkan bengalnya seorang Dewanto. "Setiap kali datang ke Bandung, dia selalu terbang rendah di atas rumah kami dan membuat loop, orang-orang pun sudah tahu itu pasti boyfriend Meitie" ujarnya.

Dewanto juga tergolong penerbang "edan" karena sering terbang diantara kawat listrik. Sekali Dewanto melakukannya di daerah Lembang yang kemudian ditegur Meitie karena dinilainya terlalu berbahaya.

Ignatius Dewanto memang sudah pergi menghadap sang Ilahi, namun namanya akan tetap dikenang bangsa Indonesia dan TNI-AU khususnya.

Nama Dewanto kemudian diabadikan menjadi nama Auditorium "Graha Dewanto" di pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun.

Sumber: Wikipedia, Intisari 1 2, Merdeka, TNI AU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun