Setelah itu Dewanto kemudian diterima bekerja sebagai pilot penerbang pesawat sipil PT SMAC di Medan.
Pada tahun 1970 Dewanto menerbangkan pesawat Piper PA-23 Aztec SMAC dari Medan ke Aceh. Naas, pesawat itu kemudian jatuh karena kerusakan mesin. Jenazahnya baru ditemukan delapan tahun kemudian pada tahun 1978.
Atas izin Soeharto, jenazahnya kemudian dimakamkan di TMP Kalibata. 20 tahun setelah Dewanto menembak  jatuh Bomber B-26 Invader Pope, barulah negaranya memperlakukan pemegang 16 tanda kehormatan ini sebagai  seorang Hero.
Ignatius Dewanto seorang kesatria Jawa lahir dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem di Kalasan, Yogyakarta pada 9 Agustus 1929.
Toto (panggilan Dewanto) merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Sebelum berkarir di TNI-AU, Dewanto adalah anggota TP (Tentara Pelajar) bergabung dengan kesatuan Slamet Riyadi.
Dewanto sendiri termasuk dalam rombongan 60 kadet AURI yang dikirim ke TALOA Academy of Aeronautics di California, USA tahun 1950.
Bersama dengan Omar Dhani dan beberapa penerbang terbaik lainnya, Dewanto belakangan pulang ke Indonesia karena disiapkan untuk menjadi instruktur AURI nantinya.
Meitie istri Dewanto mengisahkan bengalnya seorang Dewanto. "Setiap kali datang ke Bandung, dia selalu terbang rendah di atas rumah kami dan membuat loop, orang-orang pun sudah tahu itu pasti boyfriend Meitie" ujarnya.
Dewanto juga tergolong penerbang "edan" karena sering terbang diantara kawat listrik. Sekali Dewanto melakukannya di daerah Lembang yang kemudian ditegur Meitie karena dinilainya terlalu berbahaya.
Ignatius Dewanto memang sudah pergi menghadap sang Ilahi, namun namanya akan tetap dikenang bangsa Indonesia dan TNI-AU khususnya.
Nama Dewanto kemudian diabadikan menjadi nama Auditorium "Graha Dewanto" di pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun.