Widya duduk termenung seorang diri dikursi pantry. Pikirannya melayang entah kemana.
Sambil meneguk kopi panasnya dia menghela nafas panjang. Ia merasakan kesepian yang sangat-sangat dalam. Tanpa terasa air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya tanpa terkendali.
Widya seorang janda lima puluh tiga tahun. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Widya mempunyai tiga orang anak yang semuanya telah menikah, satu putra dan dua putri. Mereka semuanya tinggal di luar kota.
Widya, seorang wanita yang mandiri. Berkemauan keras, galak dan sulit berkompromi dengan orang lain termasuk dengan anak-anaknya sendiri. Mungkin hanya almarhum suaminya yang mau memahami sikapnya dan jarang memprotesnya. Dulu almarhum suaminya itu bekerja disebuah pabrik elektronika sedangkan ia sendiri membuka usaha toko pakaian.
Enam bulan terakhir ini Widya mulai menderita depresi. Sesuatu hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Widya "wanita-besi" mana mungkin bisa depresi!
Kalau ada persoalan, pasti akan dilabraknya tanpa basa-basi, sekalipun dengan suaminya sendiri, Bahkan kalau mau "duel"pun ia tidak akan ragu. Preman di komplek pertokoan pun segan berurusan dengannya.
Pernikahan anak-anak dan lesunya bisnis beberapa tahun terakhir ini, sedikit menyurutkan "nyalinya." Namun kehilangan suami merupakan pukulan paling telak bagi Widya.
Ia kehilangan "orang bodoh" yang selalu membela dan menyayanginya dalam keadaan apa pun jua. Widya kini baru menyadari kasih sayang suaminya itu selama ini.
Preman-preman itu sebenarnya tidak pernah takut kepadanya, tetapi segan kepada suaminya yang selalu baik kepada mereka itu.
Anak-anak masih menghormatinya, itu juga karena peran suaminya. Bisnis selama ini berjalan lancar juga berkat relasi suaminya, terutama pelanggan dari luar kota.
Widya baru tersadar, kalau selama ini penjualan toko lebih banyak karena order dari luar kota, dan kini orderan itu raib tak berbekas semenjak suaminya berpulang.