Namun sebaliknya, ketika terjadi hujan lebat, apalagi dengan intensitas tinggi, maka underpass itu akan berubah fungsi menjadi "swimming pool tak berbayar..."
Artinya underpass itu rentan terhadap gejolak air karena pastinya akan menimbulkan genangan dan kenangan...
Misalnya dimensi underpass dengan panjang 100 m, lebar 10 m dan tinggi 6 m, kemudian kelelep oleh air sebanyak 2.000 m3 atau setara dengan 200 truk tangki BBM berisi 10.000 liter.
Jika kapasitas pompa di underpass itu dalam satu jam hanya bisa mengisi satu truk tangki BBM berisi 10.000 liter tersebut, maka kita sudah bisa menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan underpass tersebut. Atau berapa jumlah dan kapasitas pompa yang dibutuhkan agar underpass tersebut bisa dikeringkan secepatnya.
Ketika mendengar keterangan dari Sekda DKI Jakarta lewat acara ILC minggu lalu bahwa underpass Senen dijamin akan bisa beroperasi dalam waktu 21 jam, kita akhirnya jadi tahu berapa kapasitas sebenarnya dari pompa underpass Senen itu.
Padahal penyedotan air dari underpass Senen itu sudah dibantu oleh pompa mobile tambahan, termasuk dari mobil Damkar (Pemadam Kebakaran)
Jadi masalah di underpass itu sebenarnya sangat sederhana, yakni "kapasitas pompa tidak sesuai dengan volume underpass!"
Nasib underpass yang paling tragis itu adalah underpass Kemayoran yang acap kali "berganti profesi" menjadi danau Kemayoran ketika terjadi hujan lebat.
"Mantan bandara" yang awalnya juga sebagai ruang terbuka hijau ini, sejak semula memang tidak di-desain untuk menjadi area pemukiman padat. Artinya, sejak perubahan peruntukan/fungsi dari bandara tadi, kawasan Kemayoran ini jelas menjadi rawan banjir.
"Asiknya" lagi, tidak ada seorang insinyiur pun yang tahu akan kemana air dari dalam underpass ini dibuang ketika terjadi hujan lebat yang pastinya kemudian akan menggenangi underpass tersebut.