Polri akhirnya berhasil mengungkap tersangka pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, setelah menangkap dua pelaku berinisial RM dan RB. Keduanya ternyata adalah anggota Polisi (Brimob) aktif berpangkat Brigadir.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Mabes Polri yang selama ini sudah bersusah payah untuk mengungkap kasus ini, kita berharap agar kasus ini tidak berhenti sampai kepada dua tersangka ini saja, sebab keduanya jelas bukanlah aktor intelektual dibalik kasus ini.
"Siapa yang mendalilkan harus membuktikan!"
Itulah panduan utama untuk bisa "menikmati" kasus ini, sebab "ilmu cocok-logi" hanya akan berujung kepada debat kusir yang sia-sia belaka.
Ini adalah artikel keenam yang saya tulis di Kompasiana mengenai Novel Baswedan sejak Juni 2017 lalu, dan jujur saja penyelesaian kasus Novel selama dua setengah tahun ini seperti berjalan ditempat saja.
Seharusnya kasus penyiraman air keras terhadap Novel ini adalah murni kasus kriminal (yang bisa saja berlatar dendam pribadi maupun politis) namun dalam perjalanannya kemudian dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu menjadi masalah politik.
Suka tidak suka, "penderitaan Novel" ini kemudian dijadikan komoditas dagangan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik, mulai dari Kuningan (markas KPK) hingga ke Monas sana.
Komisioner KPK 2015-2019, Saut Sitomorang sendiri bahkan memberikan gratifikasi, sebuah sepeda kepada orang yang berhasil menangkap pelaku penyiraman Novel.
"Seniman" ini mungkin pengen numpang tenar lewat "air keras" tapi malah menabrak pondasi dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Sebab, "Aparat negara itu dilarang memberikan atau menerima gratifikasi ke/dari orang lain!"
Masih ingat dengan gitar pemberian band Heavy metal Metalica kepada presiden Jokowi, yang kemudian "disimpan" di KPK?
Akhirnya "Air keras" itu kemudian tak ada bedanya dengan jasa peminjaman bayi yang bisa dipakai untuk mengemis di pinggiran jalan.