Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ari Askhara: "Awas Terkena Karma!"

17 Desember 2019   16:29 Diperbarui: 17 Desember 2019   17:51 38629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ari Askhara, sumber: kompas.com

Beberapa waktu yang lalu (sebelum dirinya dipecat) AA (Ari Askhara) sempat mengomentari perihal kasus "rencana" penyeludupan motor Harley Davidson dalam pesawat Airbus A330-900 neo yang terbang dari Toulouse, Perancis ke Jakarta, pada 17 Nopember 2019 kemarin.

Dalam acara Sharing Session Manajemen-Serikat Pekerja GA di Cengkareng pada 4 Desember 2019 itu, AA beragumentasi bahwa "insiden" itu bukan kasus penyeludupan, melainkan masalah kepabeanan saja dan sama sekali tidak ada tindak pidana.

Artinya kalau Harley Davidson itu kemudian terlihat ngebut di jalan Kebon Sirih, barulah Harley Davidson tersebut disebut motor seludupan, dan negara dirugikan.

Lha, kalau motornya masih nangkring di kantor Bea dan Cukai Cengkareng, lantas dimana letak kerugian negara?

Kalau negara kemudian memutuskan motor tersebut dilelang karena tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah, maka negara justru beruntung dapat duit tanpa harus keluar modal...

Seandainya AA yang kemudian memenangkan lelang pembelian motor tersebut dari Depkeu, maka ia akan beruntung juga. Sebab sekalipun ia harus mengeluarkan uang ekstra, namun cita-citanya untuk mengendarai sang Harley Davidson di jalanan Jakarta, akhirnya terkhobul juga...

Tak lama kemudian, Menkeu pun menjelaskan berapa kerugian negara akibat "penyeludupan" ini. Bagaimana cara Depkeu menghitung kerugian itu?

Tentu dengan menghitung bea masuk dan bea-bea lainnya, lalu dikalikan dengan harga motor tersebut (sesuai dengan faktur pembelian)

Masalahnya, berapa harga sebenarnya dari motor Harley Davidson lawas type Electra Glide Shovelhead tahun 1972 ini?

Tentu saja harganya bervariasi tergantung dari kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Lantas koq "bisa" Depkeu "mematok" harga motor (tanpa faktur) ini tanpa mengetahui harga kesepakatan antara penjual dan pembeli?

Jawabannya gampang saja. Depkeu berpatokan kepada nilai tranfers lewat rekening pribadi Finance Manager garuda Indonesia cabang Amsterdam untuk menentukan harga motor.

Padahal ini bisa saja keliru. Misalnya harga motor sebenarnya 500, tapi sang manager meminta 1.000.

Atau sebaliknya, harga motor sebenarnya 2.000, tapi sang manager dikirimi 1.000 saja, dan sisanya sang manager diminta "berimprovisasi" untuk menutupi sisa 1.000 lagi...

***

Nah yang menarik dalam gawean Serikat Pekerja GA di Cengkareng tersebut adalah ketika AA menyebut-nyebut istilah "karma."

Apalagi AA menyebut semua informasi "top secret" termasuk manifest penumpang di dalam pesawat itu dibocorkan oleh orang dalam.

Bukan itu saja, ketika AA kemudian dipecat, segala informasi rahasia termasuk isu perselingkuhan dengan atau tanpa "oplas" mengalir deras dan kemudian menjadi santapan media dan netizen.

Sebelumnya Menteri BUMN sudah meminta kepada pejabat-pejabat yang terlibat dalam kasus ini agar segera mengundurkan diri saja daripada dipecat.

Akan tetapi AA menegaskan sikap kalau ia tidak akan mengundurkan diri (karena merasa tidak bersalah) dan yakin kalau Menteri BUMN akan tetap mempertahankannya.

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, AA kemudian lengser keprabon. Netizen pun kemudian berkata, "AA kena karmanya sendiri".

Nah disinilah netizen kurang cermat melihatnya, karena konteks karma itu ditujukan secara terbatas pada Sharing Session Manajemen-Serikat Pekerja GA, bukan ditujukan kepada publik.

Dalam bahasa sopannya, maksud AA itu adalah "jangan ada maling teriak maling, kalau tidak ingin kena karma!" Apalagi segala informasi itu dibocorkan oleh orang dalam (yang mungkin adalah maling juga).

Mungkin tak banyak netizen yang mencermatinya, tetapi penulis jelas sangat tertarik dengan ucapan "karma" tersebut karena itu adalah mencerminkan keadaan sebenarnya di Garuda.

Apakah borok Garuda ini terjadi setelah AA menjabat Dirut di sana? Tentu saja tidak, sebab borok itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum AA bekerja di Garuda.

"Perempuan itu jahat, terutama kepada perempuan lainnya" bukan istilah baru diketinggian 36.000 kaki. Istilah itu pun sudah ada sebelum "selir AA" itu mengudara di kabin Garuda. Apakah baru sekarang ini saja ada "selir" di maskapai kebanggaan Indonesia ini? Jawaban sebenarnya bisa ditanyakan kepada para selir itu sendiri.

Kekisruhan sekarang ini tak lebih karena faktor iri hati dan cemburu. Selir anu oplasnya di Inggris, sementara mantan selir anu hanya bisa oplas di Kawasan Mangga Besar...

Dari sononya maskapai ini memang sudah ada boroknya. Borok paling gede tentu saja di kantor pusat. Di sana tikus, cicak dan kecoanya pun sudah borokan!

kalau di dalam kabin, borok yang tersohor itu adalah kasus Rius Vernandes pada penerbangan Sydney-Denpasar pada 13 Juli 2019 lalu. Selain itu semuanya berjalan lancar.

Bahkan kalau disuruh memilih, apakah mau naik kelas bisnis Garuda atau Lion air, maka mayoritas penumpang akan memilih naik kelas bisnis Garuda saja!

AA jelas kesal kepada staf/karyawan, karena bukan dia yang membuat "kekacauan" di Garuda. Justru sebagian dari mereka itu yang ingin "menikmati" kekacauan itu dengan mengatasnamakan/berlindung di balik AA!

AA justru baru sadar kalau dia dijorokin (terperangkap) masuk ke dalam kekacauan yang sudah ada sejak dulu di tubuh Garuda itu.

Penulis mencoba membayangkan, misalnya penulis adalah seorang manajer di Garuda. Penulis ini seorang pemalas, suka dugem, suka selingkuh dan punya satu selir di "angkasa."

Dengan kondisi begitu, jelas gaji sebulan hanya cukup untuk lima hari saja. Apalagi bini di rumah adalah tipe istri yang tak suka kalau suami pulang telat dengan "hampa tangan"

Kebetulan penulis punya beberapa rekan kerja yang "seiman" pula dalam pergumulan hidupnya.

Nah menurut anda sendiri, apakah penulis dan rekan-rekan seiman ini mendambakan sosok direksi yang baik, jujur dan bersih, agar bisa mengembalikan penulis dan rekan-rekan ke jalan yang benar?

Tentu saja tidak! Kita butuh sosok direksi yang bejat, yang paling bejat, bahkan bila perlu "dibejatkan" agar kita bisa berlindung di balik keteknya untuk  menikmati easy life.

Kebayang enggak kalau kita bisa dekat dengan bos bejat. Bos pergi ke Hongkong, kita diajakain. Bos liburan ke Barbados, kita ikut juga. Tas Hermes KW lungsuran selir bos pun bisa dikasih ke bini, biar hatinya adem kalau kita gak pulang dua hari.

Lha, kalau begitu kapan kerjanya? Lha, ikut bos itu termasuk bekerja brauw, plus ada lemburnya lagi!

Tapi namanya perjalanan hidup itu seperti roda angkot. Kadang di atas kadang di bawah. Tentu saja tidak semua orang bisa ikutan dengan bos.

Yang ikutan pasti happy sedangkan yang tak ikutan atau yang "sengaja ditinggal" kemudian menebar gosip dan sensasi. "Darr!" Sultan pun lengser keprabon...

***

AA dan juga beberapa petinggi sebelumnya menyisahkan misteri bagi maskapai penerbangan ini.

Bak kisah Kerajaan Singhasari dulu dengan keris buatan Mpu Gandring yang tersohor itu, para petinggi berikut para adipati silih berganti kemudian tersungkur oleh karma dari keris buatan Mpu Gandring itu.

AA sudah pergi meninggalkan istana, kini para staf/karyawan diuji oleh "karma keris Mpu Gandring."

Kalau mereka benar, maka mereka akan terus berkarir di situ. Akan tetapi kalau mereka tidak benar, maka mereka pun nanti akan tersingkir untuk mengikuti jejak para pendahulu mereka...


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun