Polemik percangkulan ini ternyata hanya untuk konsumsi kelas menengah dan atas saja, dan tidak menarik perhatian pada masyarakat akar rumput.
Disini ada beberapa pihak yang terlibat langsung dalam urusan percangkulan ini, dan mari kita simak pembahasannya.
Pertama, Petani dan (juga) Kuli gali tanah.
Petani jelas membutuhkan cangkul yang enak dipakai dan bermutu. Kalau bermutu baik dan harganya terjangkau, sekalipun cangkul tersebut dibuat di planet Mars, tentulah petani tidak akan mempermasalahkannya. Jadi mohon nama petani dan kuli galian jangan dipojokkan "tidak nasionalis" dalam kasus cangkul made in China ini.
Ini sama halnya dengan tempe. Tahukah anda bahwa kacang kedele, bahan baku tempe itu diimpor dari negara kafir yang kapitalis itu? Itu karena produksi nasional kacang kedelai kita hanya mampu menyuplai tak lebih dari 20% saja dari kebutuhan nasional. Sisanya masih diimpor dari Amerika dan China. Kalau sekiranya kacang kedelai itu "dinasionalisasi," maka harga sepotong tempe goreng jatuhnya tak akan kurang dari Rp 20 ribu per potong!
Padahal saat ini harga gorengan tempe "made in USA dan made in China" Â di warteg cuma Rp dua rebu sepotongnya...
Tempe bukanlah makanan asli Indonesia, karena nenek moyang kita tidak pernah menanam kacang kedelai. Amerika yang tidak memakan tempe, menyuruh orang Indonesia memakan tempe, agar mereka bisa menjual kacang kedele Made in USA kepada Indonesia.
Kedua, Produsen cangkul lokal.
Kalau ditanya pengrajin cangkul lokal, yang mereka butuhkan adalah, agar harga besi pelat dan kawat las jangan mahal. Itu saja! Harapan sederhana khas wong cilik.
Mereka ini sudah punya pasar sendiri, dan saat ini tidak (belum) terganggu dengan kehadiran cangkul impor, selama pasokan cangkul impor tersebut dibatasi hanya untuk menutupi kekurangan pasokan dari produsen lokal. Dan satu lagi, jangan sampai ada dumping harga pada cangkul impor!
Saat ini produsen cangkul lokal yang bermazhab home industri ini, seperti memakan buah simalakama, dan tampaknya akan punah juga pada akhirnya. Hal ini tersebab kepada semakin sulitnya mencari pekerja yang punya passion dalam ilmu per-cangkulan, per-aritan maupun per-golokan. Padahal syarat utama knowledge transfer ilmu perbesian ini mewajibkan adanya passion...