Ada yang mengatakan bahwa kita mustahil akan bisa swasembada beras dalam waktu dekat ini. Penyebabnya satu, yaitu karena kita masih mengimpor pacul (cangkul) terutama dari Tiongkok.
Impor pacul ini kemudian membuat Presiden Jokowi merasa malu. Apalagi pacul ini bukan untuk pertama kali ini diimpor, karena ternyata pacul impor ini sudah lama beredar di tanah air.
Pernyataan presiden terkait cangkul impor ini kemudian menarik perhatian masyarakat. Mulai dari mahasiswa, anggota parlemen, pebisnis, awak media, orang nyinyir hingga lelaki hidung belang pun kemudian melakukan analisis mendalam terkait cangkul impor ini.
Padahal para penjual dan end user (pemakai) dari pacul ini, tidak pernah mempersoalkan certificate of origin atau asal usul dari sipacul ini. Patokannya sederhana saja, dan tidak rasis. Ada barang, cocok harga, transaksi pun terjadi, dan pacul pun berpindah tempat dari tangan pedagang ke tangan pembeli.
Kali ini Pemerintah dan Oposan/kaum nyinyir ternyata kompakan mencela impor pacul ini tanpa tahu masalahnya secara komprehensif. Kalau masalahnya saja tidak diketahui secara benar, bagaimana mungkin bisa mencari solusinya secara tepat dan benar pula.
Impor cangkul ini sebenarnya tersebab karena produsen dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan cangkul di dalam negeri. Selain faktor produksi, faktor harga juga turut bermain disini, karena ternyata cangkul buatan Tiongkok lebih murah harganya daripada cangkul  buatan Mojokerto misalnya. Faktor "dumping" (produk dari Tiongkok) tentu saja menjadi perhatian utama penulis dalam menyikapi impor cangkul ini.
Berbicara tentang cangkul yang terbuat dari besi itu, tentu tak terlepas dari pembahasan tentang industri besi/baja tanah air. Apalagi konon katanya PT Krakatau Steel itu pun sudah lama merugi tersebab berbagai "kendala manajemen." Akibatnya bisa ditebak, biaya produksi tinggi, otomatis harga jual besinya kepada produsen cangkul lokal juga mahal!
Mayoritas produksi cangkul buatan lokal masih memakai teknologi sederhana di bengkel rumahan yang juga merupakan warisan keluarga turun temurun.
Pada zaman dulu ketika pekerjaan masyarakat masih banyak di sektor agraris, mungkin di setiap desa ada dua sampai tiga bengkel besi. Ketika kemudian terjadi pergeseran pola mata pencaharian masyarakat ke sektor lain, maka kini belum tentu di setiap kecamatan ada satu buah bengkel besi.
Dengan semakin berkurangnya "Mpu gandring" (pengrajin cangkul yang ahli) maka otomatis kualitas dan kuantitas cangkul yang dihasilkan oleh pengrajin cangkul lokal juga menurun.
Hukum ekonomi itu selalunya dipengaruhi oleh dua kutub berseberangan yaitu hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan melebihi penawaran, maka "cangkul aseng" pun segera datang untuk membentuk ekuilibrium dalam dunia percangkulan tanah air.