"Oh, gitu. tapi busana ini ada storynya lho. Ibu saya itu mantan petinggi Golkar sedangkan ayah saya juga mantan petinggi PDI-P kataku bangga.
"Kalau begitu bapak ini berarti penganut mazhab kuning di atas merah di bawah ya pak" kata seorang wartawati dengan genitnya.
Tak ayal pertanyaan sekaligus pernyataan dari sicantik itu membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal, sementara aku cuma bisa mesem-mesem saja...
"Wah, takutnya bapak ntar masuk dari halaman depan, belok kanan, trus lewat toilet umum, belok kiri, eh malah langsung keluar ke halaman belakang tanpa sempat bertemu dengan pakde" jawab para awak media itu kompakan sambil tertawa.
"Waduh, begitu ya?" aku terperanjat!
Singkat cerita, aku akhirnya dipinjami awak media itu dengan seperangkat alat sholat, eh setelan seragam putih hitam ala Pakde...
Sebuah notifikasi kemudian muncul di layer hape. Ada pesan dari Syaiful yang bukan Jamil, seorang tukang cuci piring Istana yang menjadi sohibku sedari kecil.
"Semua calon menteri Pakde itu adalah horang kaya. Tapi Pakde butuh seorang menteri yang benar-benar miskin. Ana hakul yakin kalau antum adalah orang yang tepat. Kalau antum tidak belagu dan sok kaya, antum niscaya akan berhasil!"
Lalu muncul sebuah notifikasi lagi. "Wassalam, Syaiful yang bukan Jamil"
Diiringi suitan dan tepuk tangan para wartawan, aku kemudian melangkahkan kakiku menuju Istana. Sesekali aku menoleh ke belakang sambil melambaikan tanganku untuk mengurangi rasa grogi yang membahana di dada.
Berkisar sepuluh menitan saja di ruang Setneg, aku lalu dipanggil masuk ke ruang Pakde!