Suami Miranda di Indonesia pun tak kurang gilanya. Ia seorang pecemburu yang suka memukuli orang yang dikasihinya. Dulu ia pernah masuk penjara karena memukuli seorang banci pemilik salon. Rupanya suami Miranda ini terdeteksi juga penyuka band "AC/DC."
Lengkaplah sudah penderitaan Miranda. Apalagi ketika itu ia juga bertugas di sebuah rumah sakit jiwa yang over kapasitas. Untunglah akhirnya Miranda bisa bercerai dengan suaminya itu.
Sejujurnya aku tak tahu menerapkan terapi yang pas bagi Miranda. Soalnya ini tampak seperti mengajari ikan berenang. Karena apapun yang saya lakukan, Miranda juga sudah mengetahuinya.
Persoalannya hanya satu, Miranda tidak bisa memotivasi dirinya sendiri untuk move-on!
Miranda kehilangan kepercayaan diri dan butuh seseorang untuk membantunya.
Apakah aku orang yang tepat? Entahlah aku sendiripun ragu tapi tak berdaya!
Awalnya aku hanya mencoba untuk menjadi seorang teman pendengar saja tanpa melakukan anamnesis karena kuanggap tidak perlu. Tetapi lama kelamaan aku pun tidak bisa menahan perasaan sukaku kepadanya.
Disatu sisi aku ingin mengirimnya saja kepada senior yang juga dosenku dulu, dengan pertimbangan karena aku tidak bisa lagi memberikan pelayanan baginya secara profesional.
Tetapi kalau aku mengirimnya, pastilah aku tidak akan pernah lagi menikmati wajah Miranda dalam pulas tidurnya itu. Ah rasanya aku pun kini rela menggadaikan izin praktik ini asalkan bisa setiap hari memandang wajah cantik Miranda.
Bagaimana pula kalau setiap kali aku membuka mata pertama kalinya di pagi hari, mataku langsung menatap mata bidadari ini. Alamak! Membayangkannya saja sudah membuat mataku kelilipan...
Seketika aku membandingkan Miranda dengan Asty, mantan isteriku dulu. Syukurlah akhirnya kami pisah tiga tahun lalu. Pernikahanku dulu memang mengerikan. Bukan karena perang badar atau perang saudara, tetapi justru karena tidak pernah ada perangnya!