Kongres V PDI-P yang berlangsung di Grand Inna Beach, Denpasar, Bali, pada Agustus 2019 ini sangat menarik untuk dicermati karena sarat dengan pesan yang tersurat maupun tersirat. Yang pertama tentu saja memaknai kehadiran Prabowo Subianto, Ketum Gerindra sekaligus mantan Capres Idaman 2019, yang datang sebagai tamu undangan VVIP Megawati!
Amien Rais seketika tersedak! Bukan Amien Rais saja, tetapi juga seluruh pendukung fanatik Koalisi 01, 02 dan 212 pun tergugup dan tergagap! Kehadiran Prabowo sebagai tamu VVIP pada Kongres V PDI-P itu membuat mereka mati gaya. Duduk salah, berdiri apalagi. Padahal mereka ini tidak sedang menderita wasir ataupun turun berok...
Pendukung fanatik 01 yang dulu begitu memuja Prabowo dengan jargon, "Siap pak Presiden!" itu akhirnya lemes setelah melihat pak presiden itu termabok nasi goreng Teuku Umar.Â
Kaum Ultras pemabok agama yang menitipkan asa untuk menikmati syurga kepada Prabowo pun sontak membenci dan meninggalkannya. Mereka menyebut Prabowo cuma kuda tunggangan saja. Sebaliknya beliau menuduh mereka ini cuma penumpang gelap pengadu domba saja. Padahal domba itu buat kurban bukan buat diadu...
Demikian juga halnya dengan para politisi oportunis yang kemudian kehilangan pijakan akibat perubahan gaya Prabowo ini. Mereka ini kemudian menghilang seperti kabut ditepis sinar mentari pagi. Kini tinggallah kaum proletar mati gaya, yang berusaha menutup atau menghapus jejak-jejak digital permusuhan pada akun facebook mereka itu.
Namun demkian, bos-bos parpol pendukung koalisi 02 pun mati gaya juga. Dulu jargon mereka adalah, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam sebuah koalisi untuk mendukung Jokowi-Maruf Amin menjadi presiden RI. Namun pada kongres ini mereka melihat Prabowo ternyata duduknya lebih tinggi dari mereka itu. "Duh, sakitnya tuh disini..."
Kehadiran Prabowo Subianto dalam hajatan PDI-P ini tentu saja bukan kebetulan belaka, karena ia membawa agenda penting untuk kepentingan tuan rumah dan dirinya sendiri.
Mari kita telisik kepentingan-kepentingan tersebut.
Namun terasa tidak wajar, bahkan sedikit "kurang ajar" kala parpol pendukung berusaha menentukan jumlah dan posisi menteri yang mereka inginkan. Dalam kondisi normal, deal-deal jatah menteri ini pasti akan berlangsung lama, alot dan melelahkan.
Sebagaimana diketahui, keberadaan menteri tersebut berasal dari dua sumber. Pertama berasal dari kaum professional atau jenjang karir, dan kedua, berasal dari kader parpol pendukung. Idealnya jumlah menteri professional/karir harus lebih banyak daripada menteri titipan parpol.Â
Belajar dari masa lalu dimana banyak menteri yang tidak cakap ataupun tersandung kasus, Jokowi berniat ingin mengurangi porsi menteri titipan ini.
Dengan dalih rekonsiliasi, Prabowo kemudian "diundang" untuk meramaikan bursa menteri titipan pada kabinet Jokowi-Maruf Amin mendatang. Kehadiran Prabowo ini jelas-jelas akan mengurangi porsi menteri titipan dari parpol pendukung lainnya.Â
Artinya PDI-P sengaja menjadikan Prabowo sebagai tameng untuk mengurangi jatah menteri dari parpol pendukung. Tidak ada satu parpol pun yang menyadari manuver Mega ini sampai kemudian "BG" terlihat melakukan gerakan senyap lewat pintu belakang Kertanegara.
Test the water untuk adu kekuatan (lewat diplomasi sate Senayan plus nasi goreng melawan nasi kebuli) pun terjadi. Karena terbawa emosi, nasi itu ternyata berubah menjadi bubur. Bubur kebuli itu pun rasanya tidak enak! "Bang brewok" pun akhirnya tumbang.
Parpol pendukung lainnya pun kemudian tersadar kalau manuver Mega ini sebenarnya sudah direncanakan dengan matang. Kini terpulang kepada mereka masing-masing, apakah akan ikut dalam koalisi, atau bergabung dengan PKS sebagai oposisi.
Kini semua ketua parpol "pegang kalkulator" untuk menghitung simulasi kekuatan di parlemen, tentunya lewat perhitungan kursi parpol.Â
Masih ingat dengan Pemilu 2014 lalu? Jokowi dan PDI-P memang menjadi pemenang, namun mereka kemudian menjadi pecundang di Senayan! Hal itu bisa terjadi karena kursi parlemen dikuasai oleh KMP-Prabowo. Ketika itu kebijakan presiden pun sering dijegal dengan mudahnya.
Namun kali ini semuanya terdiam seribu bahasa. Gebrakan Mega ini memang sudah diperhitungkannya dengan matang. Koalisi PDI-P, Gerindra dan Golkar saja sudah lebih dari setengah kursi DPR. PPP yang sedang galau karena Ketumnya ditahan KPK itu, pasti akan merapat ke pemerintah juga. Artinya percuma melawan Mega, karena Istana Negara dan Senayan sudah dikuasai pemerintah!
Setelah berhasil "memasukkan" Prabowo ke dalam koalisi untuk mengurangi "jatah" parpol pendukung, sekali lagi Mega melakukan shock teraphy dengan mengancam presiden untuk meminta jatah tambahan menteri ketika ia berpidato pada Kongres V PDI-P kemarin.
Partai kecil seperti PPP dan PAN pun langsung mati gaya! Mereka tidak berharap lagi dapat jatah menteri. Jangan tanya lagi partai gurem yang tidak lolos Parliamentary Threshold Seperti PSI dan Perindo misalnya. Jangankan berharap, bermimpi pun kini mereka tidak akan berani lagi!
Bagi penulis sendiri, kisah paling lucu dari Kongres V PDI-P kemarin itu adalah pada momen ketika Megawati meminta tambahan kursi menteri bagi PDI-P. Ini kan menggelikan karena Jokowi itu sendiri sering makan nasi goreng di Teuku Umar.
Artinya komunikasi mereka selama ini berjalan dengan baik. Pastilah mereka berdua sudah "bisik-bisik," siapa saja kader PDI-P yang akan menjadi menteri kelak. Jadi permintaan Megawati pada kongres itu sama seperti "berbisik pakai TOA..."
Strategi Megawati/PDI-P ini memang wajar. Tanpa dukungan pemerintahan yang solid plus dukungan dari parlemen, kita tidak akan kemana-mana. Tidak usah jauh-jauh. Coba kita lihat pemerintahan Jokowi selama dua tahun pertama yang seperti berjalan di tempat saja.Â
Pemerintahan tidak solid karena kualitas menteri titipan buruk, termasuk juga adanya menteri pembuat onar. Reshuffle kabinet pun kemudian menjadi solusinya.
Penyebab kedua berada di parlemen, yang berseberangan dengan pemerintah. Ketika KMP bubar dan parpol pendukungnya "pindah ke lain hati" barulah pemerintahan berjalan efektif. Contohnya pada kasus pembahasan Tax Amnesty yang bertahun-tahun mandek. Tetapi begitu Setnov menjadi Ketum Golkar sekaligus Ketua DPR, ternyata dalam beberapa hari saja pembahasan Tax Amnesty itu langsung selesai untuk dijadikan undang-undang.
Dan hasilnya sudah kita ketahui bersama, penerimaan uang tebusan mencapai Rp 130 triliun. Deklarasi harta mencapai Rp 4.813,4 triliun yang terdiri dari Rp 3.633,1 triliun  harta di dalam negeri dan Rp 146,6 triliun repatriasi (uang masuk dari luar negeri)
Jadi salah satu kunci suksesnya pemerintahan itu terletak pada menteri yang solid plus dukungan sepenuhnya dari parlemen!
***
Lantas apa kepentingan Prabowo sendiri ketika bergabung dengan koalisi pemerintah?
Pertama tentu saja untuk pemulihan citra. Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 tak bisa dipungkiri telah membuat citra Prabowo jelek di depan masyarakat. Kekecualian mungkin hanya di mata emak-emak saja. Hal ini pun ditenggarai karena emak-emak tersebut pasti punya maksud-maksud tertentu kepada pak Prabowo...
Ketika Prabowo kemudian terlihat akrab dengan Jokowi dan Megawati, apakah citra Prabowo kemudian melorot di depan pendukung sejatinya? Ternyata tidak! Kekecualian hanya pada pendukung berlatar "pemabok agama" yang memang kemudian mencemoohnya. Namun pendukung sejatinya tetap setia bersamanya. Bahkan kini para cebongers pun mulai bersimpati kepadanya. Jadi rekonsiliasi ini merupakan langkah tepat bagi Prabowo.
Kedua, Recovery. Perhelatan Pilpres 2019 kemarin itu sangat melelahkan dan menguras tenaga. Metode/strategi kampanye yang dipilih Prabowo kemarin itu, jelas meninggalkan ekses buruk yang sulit untuk dihentikan oleh seorang Prabowo sekalipun, terutama pada masyarakat akar rumput. Kini semuanya sudah lelah dan jenuh, dan Pilpres pun telah usai.
Rekonsiliasi kemudian menjadi cara termudah untuk menyelesaikan masalah ini. Apalagi tim dan kader pun perlu beristirahat agar bisa berkonsolidasi.
Ketiga, Kepentingan Politik. Perhelatan Pilpres 2019 telah usai, dan demikian juga kepentingan Prabowo. Agenda politik Prabowo tadinya adalah Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.Â
Entahlah apakah Prabowo masih berminat pada Pilpres 2024. Kampanye Pilgub DKI 2017 lalu, memang langsung dikendalikan Prabowo karena "Strategi DKI 2017" itu lah yang akan dipakainya untuk perhelatan 2019.
Diluar kepentingan Pilpres sendiri, tampaknya Prabowo tidak terlalu berminat untuk mencampurinya. Karena tidak mempunyai agenda politik tertentu dalam jangka waktu pendek ini, maka Prabowo memilih untuk berdekatan saja dengan pemerintah daripada menjauhinya.
Sikap seperti ini juga lah yang akan dipakai Demokrat tampaknya, karena kepentingan mereka sebenarnya terletak pada Pilpres 2024 untuk memenangkan AHY....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H