Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mati Gaya ala PLN

9 Agustus 2019   01:31 Diperbarui: 9 Agustus 2019   02:48 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pada mulanya bumi masih gelap, dan tuyul pun berkeliaran dimana-mana. Berfirmanlah sang Khalik, "Jadilah terang, maka berdirilah PLN"

Pada hari Minggu kemarin, Jakarta dan sebagian Jawa dilanda kegelapan total akibat gangguan pada transmisi SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) 500KV Ungaran-Pemalang, yang menyalurkan listrik dari Jawa bagian Timur ke Jakarta dan Jawa bagian Barat.

Kebetulan jaringan listrik Jawa-Bali itu sudah terkoneksi. Artinya pembangkit listrik dari Jawa Timur bisa menyuplai listrik ke Jakarta dan sebaliknya juga.

Penyebab dari blackout (padamnya listrik) ini sendiri awalnya masih simpang siur. Ada yang menduga sabotase, mungkin oleh "asing-aseng", tapi yang pasti bukan oleh tuyul.

PLN kemudian menjelaskan kalau terdakwanya adalah pohon sengon. Walaupun pohon sengon ini sebenarnya tidak bersentuhan langsung dengan kabel, tapi karena jaraknya cukup dekat, apalagi ketika hujan dan angin kencang misalnya, bisa saja menimbulkan lompatan rindu, eh lompatan listrik, sehingga tegangan listrik di SUTET langsung seketika drop.

Pertanyaan pentingnya kemudian adalah, Mengapa "Risma harus diajakin ke Jakarta?" eh mengapa listrik dari Surabaya harus di kirim ke Jakarta?

Nah kalau kita telisik lebih jauh, ternyata pembangkit listrik di JawaTimur itu cost-nya lebih murah daripada  pembangkit listrik di Jakarta. Maaf, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan anggaran sampah Surabaya yang jauh lebih murah daripada Jakarta itu ya....

Sebagian besar pembangkit listrik di Jawa Timur adalah PLTU berbahan bakar batu bara yang bahan bakunya melimpah dan murah.

Sementara pembangkit listrik di Jakarta (Muara Karang dan Muara Tawar) adalah PLTG berbahan bakar gas yang harganya mahal. Itulah sebabnya listrik dari Surabaya dikirim ke Jakarta melalui SUTET tadi.

Nah karena bos PLN itu tadinya seorang bankir, maka manajemen setrum ini pun dibuat ala bank juga. Tolok ukurnya adalah Neraca dan Laporan Rugi/laba.

Jadi sebagai BUMN, PLN itu harus profit oriented juga. Dari segi efisiensi, strategi PLN ini memang sudah tepat.

Apalagi secara teoritis suplay dari pembangkit yang sekarang saja pun sudah cukup memenuhi kebutuhan puncak di Jawa-Bali. Maka, atas nama efisiensi UP (Unit Pembangkitan) Muara Karang dan Muara Tawar segera lengser keprabon.

Akan tetapi, pendekatan ala perbankan (orientasi kepada profit) dengan engineering (orientasi kepada fungsi/pelayanan) ini jelas berbeda.

Listrik adalah jantung dari infrastruktur. Itulah sebabnya PLN harus memiliki RCP (Risk Contingency Plan) sebagai bagian dari risk management untuk pengadaan listrik, yang meliputi Pembangkitan, Jaringan Transmisi dan Gardu cadangan (mobile)

Blackout yang terjadi pada Minggu kemarin adalah bukti nyata dari tidak adanya risk contingency plan dalam rencana kerja PLN. "Setiap saat bencana bisa saja terjadi tanpa bisa diprediksi, tetapi kita tidak akan panik kalau kita memang selalu mengantisipasinya"

Blackout adalah hal yang wajar terjadi dan tidak ada seorang pun yang bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi lagi! Point-nya adalah bagaimana cara kita mengantisipasinya.

Kemarin ada orang PLN yang mengatakan kalau UP Muara Karang dan UP Muara Tawar itu sedang di-service, karena kebetulan sedang hari libur (Minggu) hahahahha.. bercandanya kebangetan bingits. Padahal sebenarnya pembangkit itu dalam keadaan mati suri.

Ketika terjadi blackout petugas PLN yang panik segera menghidupkan UP Muara Karang dan Muara Tawar. Namun jelas perlu waktu lama agar pembangkit itu bisa running lagi.

Dalam konsep RCP, UP Muara Karang dan Muara Tawar itu seharusnya dalam posisi Spinning Reserved, artinya mesin nyala dan siap masuk ke sistim kapan saja ketika diperlukan (dalam keadaan gawat darurat misalnya)

Ketika listrik di Jakarta padam lebih dari 5 jam, kita akhirnya sadar bahwa semua pembangkit di Jakarta ternyata tidak dalam keadaan siaga.

Sebenarnya tanpa pasokan dari Jawa Timur pun, pembangkit dari Jakarta dan Jabar masih mampu mensupport Jakarta. Sekiranya pembangkit tersebut dalam keadaan standbye, maka tidak butuh waktu lama bagi pembangkit untuk masuk ke sistim, untuk menggantikan pasokan dari Surabaya yang terputus tadi.

Dengan demikian kebutuhan listrik masyarakat berangsur-angsur akan bisa dipenuhi.

Mari kita cek output dari pembangkitan di Jakarta dan Jabar ini. UP Muara Karang sendiri memiliki output total sebesar 1.600 MW. UP Muara Tawar sebesar 2.005 MW dan UP Cirata sebesar 1.008 MW. Jadi output total ketiganya adalah 4.613 MW. Memang kebutuhan listrik Jakarta berkisar 5.000 MW (beban puncak) yang berarti masih minus 400 MW (sekitar 8%)

Artinya persoalannya kini sudah lebih mudah mengatasinya. PLN bisa saja menambah suplay listrik lewat genset, melakukan pemadaman secara bergilir, ataupun dengan mengurangi tegangan (voltase) listrik pada wilayah tertentu, hehehehe...

Enam jam setelah blackout, sebagian listrik Jakarta mulai menyala kembali. Tetapi  hal itu bukan karena transmisi SUTET Ungaran-Pemalang tadi sudah selesai diperbaiki, melainkan karena PLTGU Muara Karang dan Muara Tawar sudah bisa menyuplay listrik ke Jakarta.

Setelah itu berangsur-angsur wilayah Jakarta yang gelap itu mulai terang kembali setelah PLTU Muara Karang dan Muara Tawar bisa masuk ke dalam sistim.

Lha, kenapa PLTU-nya belakangan masuk ke dalam sistim?  Kalau dianalogikan ke dapur, maka PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) itu seperti microwave. Dipencet, langsung jadi. PLTG itu ibarat kompor gas, perlu beberapa waktu dulu supaya jadi.

Sedangkan PLTU itu ibarat kompor minyak tanah 12 sumbu. Kalau sumbunya bersih dan tidak hitam, maka nyala apinya akan bagus. 

Perlu juga diperiksa minyak tanahnya, soalnya hare gene cukup susah mencari penjual minyak tanah. Setelah kompor menyala, barulah air dijerang di ceret.

Setelah airnya mateng, barulah bisa ngopi. Prosesnya memang cukup lama. Itulah sebabnya orang yang ngopinya pake kompor minyak tanah pasti akan telat masuk kantor....

***

Kini muncul polemik terkait keberadaan PLN ini. Ada yang mengatakan sebaiknya dibentuk beberapa BUMN sejenis PLN agar tidak terjadi monopoli seperti sekarang ini. Artinya semangat kompetisi dari beberapa perusahaan diharapkan bisa membuat pelayanan listrik menjadi lebih baik.

Tapi bagi saya sendiri, point-nya bukan soal monopoli atau bukan, tetapi mindset atau "ruh" dari keberadaan PLN itu sendiri.

Tupoksi PLN adalah menyelenggarakan dan melayani kebutuhan listrik bagi masyarakat dan penyelenggaran negara.

Jadi orientasi PLN itu bukan kepada profit, tetapi kepada pelayanan listrik untuk memberi kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan negara.

Kalau prinsip ini bisa dipahami dan dijalankan sebagaimana seharusnya oleh manajemen PLN, maka masalah seperti kemarin itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Referensi :

kompasiana.com/chokky
cnbcindonesia.com
pembangkit-listrik00.blogspot.com
wikipedia.org
liputan6.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun