Ya, Posisi tawar adalah koentji oetama dalam berbisnis yang selalunya terikat dengan mazhab supply and demand, hukum permintaan dan penawaran. Itu lah yang akan kita bahas sekarang ini.
Garuda babak belur bukan lah cerita baru. Baik di "lapangan hijau" maupun di udara, ceritanya setali tiga uang, ngenes! Di dalam negeri Garuda memang Berjaya. Namun di luar negeri Garuda porak poranda dan selalu merugi! Lahirnya Citilink yang bermain di LCC (Low Cost Carrier) jelas sangat membantu pendapatan Garuda yang ketika itu bermain sendirian di kelas full service.
Masalah Garuda ini memang klasik sekali, khas penyakit BUMN. Utang bejibun (warisan masa lalu), jumlah staf terlalu "gemuk" dan berbagai konflik kepentingan internal dan eksternal yang selama ini turut menikmati manisnya madu Garuda. Para "parasit" ini lah yang membuat beban Garuda semakin berat. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin Garuda bisa bersaing dengan maskapai asing?
Di luar negeri Garuda memang merugi. Oleh karena itu Garuda berupaya menggenjot pasar domestik yang gemuk itu. Tahun 2018 kemarin saja jumlah penumpang domestik sebanyak 101,13 juta penumpang. 33,86 juta penumpang (sekitar 34%) diantaranya diangkut oleh Garuda Grup (Garuda dan Citilink)
Di kelas full service Garuda memang tidak punya saingan, apalagi Garuda sudah punya segmen pasar tersendiri. Horang kaya dan sosialita sudah tentu akan naik Garuda. Pegawai negeri dan BUMN juga adalah pelanggan Garuda. Harga memang tidak bisa bohong. Naik Garuda (apalagi perjalann dinas) jelas lebih enak dan bergengsi bila dibandingkan dengan naik Lion Air...
Terakhir Sriwijaya Air dan anaknya, Nam Air sempoyongan. Sebelum keburu ambruk, mereka pun dipeluk Citilink yang mengendus bau sedapnya harga tiket pesawat domestik.
Sebelumnya nama Merpati, Batavia Air, Adam Air, Mandala, Jatayu, Bouraq, Indonesia Airlines almarhum dari udara Indonesia karena tak kuat bersaing dalam perang harga. Teori Evolusi Chales Darwin itu memang kejam tapi nyata. "Yang tersisa (bertahan) adalah yang kuat. Kuat bukan karena hebat, tetapi karena yang kuat bisa memangsa yang lemah (pesaing)"
Teori Ekonomi modern (baca : teori konspirasi kartel) mengajarkan petuah yang tak kalah bijak pula, "Jika sulit menaklukkan lawanmu, maka jadikan dia kawanmu!"
Dengan bergabungnya Sriwijaya Grup (Sriwijaya Air dan Nam Air) di ketek Garuda, maka Garuda kini sudah siap menjajah udara Nusantara baik di segmen full service maupun LCC! Kompetitor (baca, sekondan) mereka pun adalah maskapai yang akrab dengan masalah juga. Jadi kini tinggal dua pemain besar saja yang menguasai udara Indonesia, Garuda grup dan Lion grup. Lion grup adalah pemilik Wings Air, Malindo Air, Batik Air, Thai Lion Air dan Lion Air.
Lion Air ini ibarat buah simalakama. "Tak dimakan mati emak, dimakan mati bapak" Dengan jumlah rute penerbangan terbanyak dan harga termurah, Lion Air menjadi dambaan para penumpang kelas sandal jepit seperti penulis.Â