Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cebong Kampret Itu Kini Bernama Garuda Pancasila

13 Juli 2019   13:51 Diperbarui: 13 Juli 2019   15:12 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi naik MRT dengan Prabowo, sumber : Tribun Jatim - Tribunnews.com

"Pertunjukan itu selesai sudah!"

Gonjrang-ganjring, karut-marut dan keriuhan dunia politik tanah air selama setahun terakhir ini berakhir dengan anti klimaks di restoran Sate Senayan di Mal FX Senayan, Jakarta.

Presiden terpilih Joko Widodo (01) dan capres idaman (02) Prabowo Subianto akhirnya bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus Jakarta pada Sabtu pagi, sebagai bagian dari "Jalan panjang menuju rekonsiliasi nasional"

Menurut Jokowi pertemuan ini telah direncanakan sejak lama. Apalagi Prabowo itu belum pernah naik MRT. Jadi Jokowi mengundang Prabowo naik MRT dari Stasiun Lebak Bulus menuju Stasiun Senayan, yang kemudian diakhiri dengan berjalan kaki ke Mal FX Senayan. Menurut Jokowi lagi, melalui pertemuan ini maka berakhir pula sejarah cebong dan kampret di tanah air untuk kemudian melebur menjadi Garuda Pancasila...

***

Apa makna yang kita dapat dari pertemuan kedua tokoh politik ini?

Sama sekali tidak ada karena terasa hambar! Ibarat memakan makanan yang sudah kadaluwarsa atau basi. Ini sama seperti ketika anda ditawari gulai kepala kakap favorit anda, pada saat perut anda kekenyangan setelah makan indomie dua porsi! Basi bingitss....

Ini lah cerminan dunia politik kita pada saat ini. "Sekali kampret tetaplah kampret. Mana mungkin kampret bisa menjadi Garuda?"

Sekiranya pertemuan ini terjadi sehari setelah Pemilu serentak lalu itu, mungkin kondisi sosial di masyarakat akan kondusif. Tidak akan ada korban jiwa dan material seperti yang terjadi pada Kerusuhan Mei lalu.

"Namun nasi telah menjadi bubur karena tukang masaknya memang justru sengaja menambahkan air yang banyak ke dalam periuk..."

Bagi Prabowo sendiri mungkin ini semacam lelucon saja. Dua kali ngebet jadi Cawapres dan Capres gagal sebenarnya sudah membuatnya sadar diri akan kemampuannya. Jadi Capres ketiga kemarin dan keempat nantinya itu cuma iseng semata.

Sedari awal Prabowo malah tidak terlalu aktif dalam berkampanye. Justru Sandi dengan emak dan "emak-emaknya" yang sangat proaktif berkampanye menjelajahi Nusantara dengan edisi kampanye out of the box-nya.

Pelajaran apa yang kita dapat dari pesta demokrasi, mulai dari perhelatan pemilu, Kerusuhan Mei dan diakhiri dengan rekonsiliasi kemarin?

Ternyata kita ini semakin mundur ke belakang. Rakyat tetap bodoh dan diperbodohi. Rakyat bodoh (dan pemarah) itu diperalat dan dieksploitasi para elit politik (dengan cara yang bodoh pula) demi kepuasan syahwat politik para elit itu.

Dua dekade berlalu sejak zaman Orba Soeharto tumbang, kita justru semakin terpuruk dalam kebodohan. Pendidikan politik sejak era reformasi mengajarkan kita dengan money politics dan politik identitas (etnis, agama, suku, golongan) yang justru semakin menjauhkan kita dari cita-cita Persatuan dan Kesatuan Bangsa yang dicetuskan para pemuda nyaris seabad yang lalu.

Seabad yang lalu para pemuda dari seantero Nusantara justru meninggalkan identitas (etnis, agama, suku, golongan) mereka untuk sebuah cita-cita berdirinya sebuah negara yang beradab dan merdeka bagi semua warganya, bernama Indonesia. Padahal ketika itu negara Indonesia itu belum ada. 17 tahun kemudian barulah negara Indonesia itu terbentuk.

Artinya para elit ketika itu mau berkorban (waktu, pikiran, tenaga, biaya, kepentingan pribadi dan juga ego) demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Berbanding terbalik dengan para elit masa kini yang justru berusaha mengeksploitasi bangsanya demi kepentingan syahwat politiknya sendiri. Negara diperlakukan seperti lahan bancakan saja. Korupsi, kolusi dan Nepotisme merajalela dimana-mana.

***

Rekonsiliasi terlambat kedua petinggi politik diatas memang terasa hambar. 

Bagi Prabowo, pertemuan ini seperti ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia adalah seorang elit politik yang baik dan mau melakukan rekonsiliasi demi keharmonisan bangsa. Tetapi mengapa terlambat melakukannya?

Ini sebenarnya bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kenapa sekarang bukan kemarin? Sekarang memang karena waktu yang pas (buat Prabowo) itu memang sekarang!

Kalau dulu urusannya bisa runyam. Tensi masih tinggi. "Kampretos itu memang cepat naiknya, tetapi lama turunnya"

Ada puluhan "Camen" (Calon Menteri) yang gagal naik jabatan, padahal mereka ini sudah keburu menyusun susunan Dirjen dan Sekjen Departemen. Belum lagi para Staff Ahli yang mengharapkan gaji buta plus Tunjangan dan sedikit privilege....

Ketika tensi sudah turun, mata sudah terang dan bisa melihat realita secara wajar dan transparan, maka tiba lah waktunya bagi Prabowo untuk menyelesaikan segala kelucuan selama ini dalam sebuah rekonsiliasi lewat paket wisata, "Naik MRT dari Lebak Bulus Ke Senayan...."

Bagi Jokowi sendiri, pertemuan ini tidak punya makna politis karena dia adalah seorang pemenang sejati. Sebagai Kepala Negara beliau ini terbuka untuk bertemu dengan siapa saja. Bertemu dengan Prabowo tentu membuat citranya sendiri semakin baik di depan masyarakat. Selain itu kehadiran Prabowo ini tentu saja semakin meningkatkan posisi tawar Jokowi dalam menyusun kabinet idaman nantinya di depan teman maupun "lawan..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun