Kemarin itu saya kaget plus merasa geli melihat sebuah notifikasi dari admin Kompasiana muncul. Kaget karena artikel saya yang berjudul, "Kiprah Wan Abud Di Pulau Reklamasi" dihapus oleh admin. Geli, karena inilah untuk pertama kalinya artikel saya dihapus setelah menulis ratusan artikel di Kompasiana.
Saya kemudian tertawa mengingat beberapa K'ers senior yang artikelnya dihapus oleh admin beberapa waktu lalu, terutama saat menjelang Pilgub DKI 2017 lalu. Padahal ketika itu masih banyak K'ers yang belum move-on dari efek Pilpres 2014. Mereka umumnya mencak-mencak menggerutu sepanjang minggu wkwkwk...
Tapi saya positif thinking saja. Lama menghilang mungkin memberikan efek buruk pada tulisan saya. Sementara itu zaman sudah berubah. Kini K'ers wajib pula harus punya gopay. Untunglah saya ini penggemar setia gojek dan grab...
Soal menghilang ini sebenarnya sangat klasik sekali, berawal dari susahnya login dan kesibukan pribadi. Kombinasi dari keduanya membuat akun ini kemudian ambles lebih dari setahun lamanya...
Tugas admin itu memang berat, terutama dalam menyeleksi dan menyunting ratusan artikel agar layak tayang. Itulah sebabnya saya heran kenapa Prof Peb mau bercita-cita hendak menjadi bos admin tahun 2022 nanti, padahal celana saja beliau ini tidak punya.
Prof, ngadimin itu berat, kau tak akan kuat...biar aku saja. Mumpung "Pilpres admin 2022" masih lama, lebih baik saya belajar menulis lagi siapa tahu bisa jadi ngadmin juga pada 2022 nanti....
***
Sebagaimana kita ketahui, Gubernur DKI Jakarta ternyata telah menerbitkan IMB untuk bangunan di pulau reklamasi Jakarta pada 2018 lalu. Warga tersentak karena media-media baru mempublikasikannya pada tahun 2019 ini.Â
Sebenarnya tidak aneh ketika Gubernur DKI Jakarta menerbitkan IMB untuk bangunan yang sudah terlanjur dibangun itu. Akan tetapi inkonsistensi sikap Gubernur DKI Jakarta dan dasar hukum untuk penerbitan IMB itu lah yang menjadi pertanyaan banyak warga.
Catat, kita sedang membahas Gubernur DKI Jakarta (sebagai institusi) bukan membicarakan Anies Baswedan (sebagai personal) Mari kita simak beberapa inkonsistensi tersebut
Pertama, Pada 29 Desember 2017 lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui surat nomor 2373/-1.794.2, meminta Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Sofyan Djalil untuk membatalkan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) 3 pulau reklamasi yakni pulau C, D dan G.
Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta menyatakan penerbitan HGB pulau itu tidak sesuai aturan, sebab HGB tersebut diterbitkan sebelum adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
"Perda" yang dimaksud (gubernur baru) itu adalah Raperda N0. 8 /1995 yang diusulkan (gubernur lama) yang memuat klausal kontribusi tambahan bagi Pemprov DKI sebesar 15% dari NJOP untuk setiap lahan yang dijual pengembang. Sementara itu DPRD meminta kontribusi tambahan 5% saja.
Pembahasan Rancangan Revisi Perda N0. 8 /1995 ini menjadi deadlock karena tidak ada titik temu antara gubernur (lama) dengan DPRD. Apalagi kemudian Sanusi (anggota DPRD) tertangkap tangan KPK ketika menerima suap dari pengembang. Entah mengapa, Raperda ini seperti sebuah "kutukan"saja karena tidak kunjung bisa selesai walaupun lewat pergantiaan beberapa gubernur dan anggota dewan.
Dasar hukum BPN menerbitkan HGB Pulau Reklamasi ketika itu adalah Perda No 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Pergub DKI No. 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta dan Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E hasil reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Selain itu mustahil juga BPN menerbitkan HGB kalau tanpa persetujuan dan rekomendasi dari pemegang HPL yakni Gubernur DKI Jakarta sendiri.
Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 diterbitkan gubernur ketika itu sebagai panduan sembari menunggu selesainya pembahasan Raperda N0. 8 /1995 bersama DPRD untuk disyahkan menjadi sebuah Perda yang legitimate. Artinya Pergub ini menjadi "IMB Sementara" saja. ketika nantinya ada perbedaan ketentuan antara Pergub dengan Perda, maka Perda lah yang akan dijadikan pegangan. Segala resiko yang timbul akibat perbedaan itu ditanggung sendiri oleh pengembang.
Misalnya, pengembang sudah terlanjur membangun sebuah ruko. Ternyata setelah Perda keluar, ruko tersebut berada di Jalur Hijau. Maka otomatis bangunan ruko tersebut harus dibongkar. IMB selalunya mengikuti RTRW yang diatur dalam Perda. Artinya ketika gubernur menerbitkan IMB, berarti gubernur sudah bisa menjamin bahwa bangunan yang  telah terbangun sekarang ini tidak akan bertentangan dengan RTRW/zonasi dalam Perda mendatang. Artinya dengan menerbitkan IMB berdasarkan Pergub DKI No. 206 Tahun 2016, gubernur telah mengambil alih resiko itu dari tangan pengembang.
Kedua, tahun lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan IMB di atas lahan  reklamasi yang ditolaknya itu. Sebelumnya gubernur sendiri yang meminta kepada BPN untuk membatalkan sertifikat HGB dari 3 pulau reklamasi itu. Padahal Sebelum HGB tersebut diterbitkan, PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang sudah terlebih dahulu membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) ke Pemprov DKI yang nilainya lebih dari Rp 400 miliar, sebagai salah satu persyaratan agar BPN dapat menerbitkan HGB.Â
Hal ini tentu saja menjadi sebuah preseden bagi dunia usaha. Banyak investor akhirnya akan berpikir ulang untuk berinvestasi kalau tidak ada kepastian hukum. Apalagi kemudian sebuah Lembaga "dadakan" bernama KSTJ (Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta) melakukan gugatan ke PTUN terkait pemberian HGB pulau reklamasi itu. Untunglah PTUN masih "waras" dengan menolak gugatan tidak masuk akal itu.
Amar putusan hakim PTUN Jakarta cukup tegas isinya, "Mengadili dalam eksepsi menyatakan menerima eksepsi tergugat dan tergugat intervensi mengenai penggugat tidak memiliki kepentingan atau legal standing untuk melakukan gugatan. Dalam pokok perkara, Menolak gugatan penggugat seluruhnya dan menghukum para penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp 436 ribu"
BPN juga kemudian menolak permohonan untuk pembatalan HGB tersebut. Seandainya pun pembatalan itu dimungkinkan, maka Gubernur DKI harus mengembalikan uang BPHTB plus bunga, dan denda/kompensasi biaya yang timbul akibat pembatalan tersebut kepada pengembang. Dalam hal ini pasti Pemprov DKI akan mengalami kerugian besar.
Surat Gubernur Nomor 2373/-1.794.2 per tanggal 29 Desember 2017 untuk pembatalan HGB dengan alasan belum adanya Perda ini juga terkesan inkonsisten karena pada tanggal 15 Desember 2017 sebelumnya, gubernur telah menarik Raperda N0. 8 /1995 tersebut dengan alasan untuk diperbarui. Â Tetapi sampai sekarang pun (1,5 tahun sudah berlalu) Raperda ini tidak kunjung selesai menjadi sebuah Perda yang berkekuatan hukum tetap.
Ketiga. Pada 7 Juni 2018 lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyegel 932 bangunan di Pulau C dan Pulau D. Sebelumnya pada 4 Juni 2018 gubernur menandatangani pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi. Artinya badan ini dibentuk gubernur untuk mengelola pulau reklamasi. Padahal reklamasinya ditolak dan bangunannya disegel!
Disini Gubernur DKI Jakarta jelas tidak konsisten. Pihak pengembang membangun di pulau reklamasi berdasarkan Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 yang berlaku sebagai "IMB Sementara" menunggu terbitnya Perda yang baru. Dalam hal ini segala resiko menjadi tanggung jawab pengembang sepenuhnya. Alasan penyegelan karena tidak ada IMB kemudian menjadi bias karena gubernur tidak menghormati Pergubnya sendiri.
Lewat putusan sidang yustisi Pengadilan Negeri Jakarta Utara, PT. Kapuk Naga Indah selaku pengembang Pulau D akhirnya membayar denda pelanggaran IMB sebesar Rp 40 juta dan Rp 7 miliar. Itu biaya resminya, sedangkan biaya tak resminya hanya Tuhan dan bos pengembang saja yang tahu adanya...
Setelah pengembang membayar "denda tilang," tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kemudian menerbitkan IMB pulau reklamasi itu dengan apa saudara...? Sim salabim Dengan Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 itu juga! Buset! Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 ini tak ubahnya seperti kartu joker ditangan gubernurnya. Mula-mula berlaku sebagai IMB Sementara, lalu kemudian tak laku dan bangunan itu disegel. Tapi sejurus kemudian dipakai lagi menjadi landasan hukum penerbitan IMB! Mungkin ini lah inkonsistensi yang paling konyol!
Keempat, Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 adalah "IMB sementara" menunggu Perda selesai dengan tujuan agar Pemprov DKI mendapatkan kontribusi tambahan sebesar 15% dari NJOP untuk setiap lahan yang dijual pengembang. Seperti kita ketahui bersama, mandeknya Perda ini salah satunya karena tidak adanya persesuaian pendapat antara Pemprov DKI dengan DPRD terkait kontribusi tambahan. Perbedaan pendapat ini pun sebenarnya sudah berlangsung saat Fauzi Bowo menjabat sebagai gubernur.
Namun ironisnya, dengan penerbitan IMB tanpa melalui Perda tersebut, Pemprov DKI kini malah tidak mendapat kontribusi tambahan apa-apa pun dari pengembang. Tahu begini, ngapain juga semuanya pada cape-cape berantem? Mengapa tidak pada zaman Fauzi Bowo saja Perda ini diselesaikan? Padahal setidaknya Pemprov DKI masih bisa mendapatkan kontribusi tambahan sebesar 5% dari NJOP untuk setiap lahan yang dijual pengembang.
Ah, ternyata pulau reklamasi ini hanya jadi ajang politik dan bancakan saja bagi segelintir orang. Nelayan dan masyarakat marjinal seperti saya ini tetaplah nasibnya terpinggirkan. Mungkin menjelang Pilgub 2022 nanti baru lah suara rakyat dirayu lagi. Katanya vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mana suaramu...
Referensi,
Anies "Off Side" Di Sertifikat Pulau Reklamasi!
Reklamasi Teluk Jakarta, Sebuah Bencana?
detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H