Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Inkonsistensi Kebijakan Gubernur Di Pulau Reklamasi

6 Juli 2019   02:50 Diperbarui: 6 Juli 2019   04:04 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Layout pulau-pulau reklamasi, sumber : SuaraJakarta.co

Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta menyatakan penerbitan HGB pulau itu tidak sesuai aturan, sebab HGB tersebut diterbitkan sebelum adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

"Perda" yang dimaksud (gubernur baru) itu adalah Raperda N0. 8 /1995 yang diusulkan (gubernur lama) yang memuat klausal kontribusi tambahan bagi Pemprov DKI sebesar 15% dari NJOP untuk setiap lahan yang dijual pengembang. Sementara itu DPRD meminta kontribusi tambahan 5% saja.

Pembahasan Rancangan Revisi Perda N0. 8 /1995 ini menjadi deadlock karena tidak ada titik temu antara gubernur (lama) dengan DPRD. Apalagi kemudian Sanusi (anggota DPRD) tertangkap tangan KPK ketika menerima suap dari pengembang. Entah mengapa, Raperda ini seperti sebuah "kutukan"saja karena tidak kunjung bisa selesai walaupun lewat pergantiaan beberapa gubernur dan anggota dewan.

Dasar hukum BPN menerbitkan HGB Pulau Reklamasi ketika itu adalah Perda No 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Pergub DKI No. 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta dan Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E hasil reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Selain itu mustahil juga BPN menerbitkan HGB kalau tanpa persetujuan dan rekomendasi dari pemegang HPL yakni Gubernur DKI Jakarta sendiri.

Pergub DKI No. 206 Tahun 2016 diterbitkan gubernur ketika itu sebagai panduan sembari menunggu selesainya pembahasan Raperda N0. 8 /1995 bersama DPRD untuk disyahkan menjadi sebuah Perda yang legitimate. Artinya Pergub ini menjadi "IMB Sementara" saja. ketika nantinya ada perbedaan ketentuan antara Pergub dengan Perda, maka Perda lah yang akan dijadikan pegangan. Segala resiko yang timbul akibat perbedaan itu ditanggung sendiri oleh pengembang.

Misalnya, pengembang sudah terlanjur membangun sebuah ruko. Ternyata setelah Perda keluar, ruko tersebut berada di Jalur Hijau. Maka otomatis bangunan ruko tersebut harus dibongkar. IMB selalunya mengikuti RTRW yang diatur dalam Perda. Artinya ketika gubernur menerbitkan IMB, berarti gubernur sudah bisa menjamin bahwa bangunan yang  telah terbangun sekarang ini tidak akan bertentangan dengan RTRW/zonasi dalam Perda mendatang. Artinya dengan menerbitkan IMB berdasarkan Pergub DKI No. 206 Tahun 2016, gubernur telah mengambil alih resiko itu dari tangan pengembang.

Kedua, tahun lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan IMB di atas lahan  reklamasi yang ditolaknya itu. Sebelumnya gubernur sendiri yang meminta kepada BPN untuk membatalkan sertifikat HGB dari 3 pulau reklamasi itu. Padahal Sebelum HGB tersebut diterbitkan, PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang sudah terlebih dahulu membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) ke Pemprov DKI yang nilainya lebih dari Rp 400 miliar, sebagai salah satu persyaratan agar BPN dapat menerbitkan HGB. 

Hal ini tentu saja menjadi sebuah preseden bagi dunia usaha. Banyak investor akhirnya akan berpikir ulang untuk berinvestasi kalau tidak ada kepastian hukum. Apalagi kemudian sebuah Lembaga "dadakan" bernama KSTJ (Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta) melakukan gugatan ke PTUN terkait pemberian HGB pulau reklamasi itu. Untunglah PTUN masih "waras" dengan menolak gugatan tidak masuk akal itu.

Amar putusan hakim PTUN Jakarta cukup tegas isinya, "Mengadili dalam eksepsi menyatakan menerima eksepsi tergugat dan tergugat intervensi mengenai penggugat tidak memiliki kepentingan atau legal standing untuk melakukan gugatan. Dalam pokok perkara, Menolak gugatan penggugat seluruhnya dan menghukum para penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp 436 ribu"

BPN juga kemudian menolak permohonan untuk pembatalan HGB tersebut. Seandainya pun pembatalan itu dimungkinkan, maka Gubernur DKI harus mengembalikan uang BPHTB plus bunga, dan denda/kompensasi biaya yang timbul akibat pembatalan tersebut kepada pengembang. Dalam hal ini pasti Pemprov DKI akan mengalami kerugian besar.

Surat Gubernur Nomor 2373/-1.794.2 per tanggal 29 Desember 2017 untuk pembatalan HGB dengan alasan belum adanya Perda ini juga terkesan inkonsisten karena pada tanggal 15 Desember 2017 sebelumnya, gubernur telah menarik Raperda N0. 8 /1995 tersebut dengan alasan untuk diperbarui.  Tetapi sampai sekarang pun (1,5 tahun sudah berlalu) Raperda ini tidak kunjung selesai menjadi sebuah Perda yang berkekuatan hukum tetap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun