Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Waspadai Kenaikan Harga Beras!

16 Januari 2018   15:18 Diperbarui: 17 Januari 2018   01:35 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir tahun kemarin kasus "Papa nabrak tiang lampu" sangat menyedot perhatian masyarakat. Namun tanpa disadari warga, seiring dengan merebaknya isu "bakpao" tersebut, harga beras di PIBC (Pasar Induk Beras Cipinang) ternyata diam-diam turut juga menabrak HET (Harga Eceran Tertinggi)  

Ketika kemudian KPK menciduk "papa" dari rumah sakit, dan kemudian juga pelantun lagu "segede bakpao" tersebut lengkap dengan "bidannya," maka harga beras kemudian sudah melonjak dengan tajam!

Adakah hubungan bakpao dengan beras? Tentu saja tidak ada. Hanya saja kebetulan kenaikan harga beras tersebut berbarengan dengan kasus bakpao ini. Tapi yang jelas kini harga beras medium di PIBC sudah mencapai Rp 12.000/kg, padahal HET pemerintah adalah Rp 9.450/kg! Beras IR 64 kini Rp 12.475/kg dari sebelumnya Rp 11.800/kg.

Lalu kemudian keluar titah baginda Kemendag, segera impor 500.000 ton beras sekarang juga! Padahal baginda Kementan bersabda, stok beras nasional cukup bahkan surplus! 

Masyarakat pemakan beras lalu bertanya, "Kalau memang surplus mengapa harga beras naik? mengapa harus impor beras...? Mari coba kita renungkan dan cari sendiri jawaban dari persolan perberasan ini agar kita tidak tersesat oleh berita-berita yang banyak berseliweran di medsos...

Sejak zaman pak Harto sampai kini, komoditi beras ini selalu menjadi masalah besar karena disini banyak bercokol mafia beras dan para pemburu rente kelas kakap! Bisnis beras ini melibatkan para kartel kelas kakap dengan dana trilyunan rupiah! 

Duit 200 miliar saja tidak akan cukup untuk mengatrol harga beras diseluruh pasar induk beras yang tersebar diseluruh Indonesia.

Sejak zaman dahulu, para bos mafia biasanya mengatur harga beras di pasar lokal melalui mekanisme impor beras. Ketika China, Vietnam, India, atau Thailand surplus produksi beras, maka harga beras dunia pasti akan jatuh! Harga beras Vietnam terkadang tak sampai dari setengah harga beras lokal, dan ini bisnis yang sangat menggiurkan untuk cepat kaya! 

Beras murah tersebut langsung diborong dan disimpan di kawasan pergudangan setempat. Lalu nantinya akan diekspor ke Indonesia pada waktu yang tepat! 

Ketika harga beras dipasar lokal mulai merangkak naik, maka beras impor tersebut akan dilepas ke pasar lokal. Tentu saja masih dibutuhkan satu tahapan lagi untuk mewujudkan rencana tersebut, yaitu dengan terlebih dahulu melakukan "gerakan menaikkan harga beras lokal!"

Ketika beras lokal "menghilang" atau harganya merayap naik, maka langkah pertama pemerintah adalah melakukan instrumen protap yaitu operasi pasar melalui Bulog. Biasanya operasi pasar itu "akan gagal" karena tidak tepat sasaran. 

Pertama, operasi pasar tidak langsung ke pengecer di pasar, melainkan ke warga kecil yang biasanya mengharapkan sembako gratisan. Maaf, transaksi segmen kecil ini selalunya tidak akan pernah mampu untuk mengkoreksi harga pasar!

Kedua, operasi pasar akan menjadi ajang spekulasi para "businessman kelas teri" yang berusaha mengharapkan margin dari selisih harga beras operasi pasar Bulog dengan harga dipasaran. Pada akhirnya operasi pasar itu tidak akan mampu menahan laju harga beras yang terus merambat naik...

Beras adalah komoditi ekonomi dan sekaligus juga komoditi politik! Sejak zaman Soekarno berkuasa hingga saat ini, isu "kenaikan harga sembako" adalah senjata utama para haters dan orang-orang yang berseberangan untuk menggoyang penguasa. 

Bagi "penguasa yang pro rakyat" tentu saja harga sembako akan berusaha untuk diamankan. Kalau ternyata operasi pasar oleh Bulog gagal untuk mengkoreksi harga, maka solusi jitu lainnya adalah melakukan impor!

Bak tentara Belanda yang membonceng tentara NICA ketika datang ke Indonesia dulu itu, maka beras mafia yang tertidur di kawasan pergudangan Vietnam itu akan turut juga masuk ke Indonesia bersama beras impor legal, baik dengan cara "membonceng" maupun dengan cara dibeli oleh importir. Memang kalau spesifikasi dan harganya memenuhi persyaratan, tentu saja tidak ada salahnya Bulog atau importir lain membeli beras tersebut...

Pertanyaan penting lainnya adalah, mengapa beras impor tersebut dilepas ketika harga dipasar lokal mulai naik? Tentu saja kalau langsung dilepas kepasar lokal ketika harga beras dunia jatuh, akan membuat semua pihak curiga, terutama oleh Kementan! 

Jadi aksi tersebut akan gampang diketahui banyak pihak! Beras tersebut mungkin akan "di-hold" 3-6 bulan menunggu waktu yang "ideal" untuk dilepas. Cost of money menahan beras tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat!

Terkadang ada juga beras impor yang masuk ketika harga beras dipasar lokal stabil. Apa pasal?

Ternyata ketika terjadi surplus produksi, Pemerintah China atau Vietnam terpaksa harus menjual stok di "Silo" terlebih dahulu, agar dapat menampung beras panen yang baru. 

Semakin lama umur stok tersebut, tentu akan semakin murah harganya. Terkadang harganya tak sampai 35% dari harga normal, karena kualitasnya juga sudah menurun. Biasanya beras beginian terpaksa harus langsung dilepas kepasar sebelum keburu rusak. Kalaupun sudah terlanjur rusak, masih bisa di polish atau langsung dioplos!

Tetapi kisah diatas ini terjadinya pada zaman old. Entahlah apakah pada zaman now kisahnya masih sama juga... Tetapi yang jelas Mentan tidak suka dengan rencana impor beras ini. 

Kegusaran Mentan ini dapat dipahami mengingat musim panen padi telah dimulai dan akan mencapai puncaknya pada bulan Februari-Maret nanti! Apalagi sudah 2 tahun ini (2016-2017) tidak ada impor beras, artinya kita sudah swasembada beras dong...

Tapi pak Mentan jangan "geer" dulu karena mekanisme perberasan bukan sesederhana itu (tidak ada impor berarti swasembada) karena masih ada satu instrumen lagi yang memegang peranan penting, yaitu Bulog!

Biasanya Bulog punya stok 2-2,5 juta ton diseluruh gudang yang tersebar di seluruh Indonesia. Seharusnya orang tidak boleh tahu berapa stok Bulog supaya mereka ini tidak dikadalin para spekulan. 

Salah satu tugas pokok Bulog ini adalah mengendalikan harga dan stok beras. Ketika harga beras naik, maka Bulog melakukan operasi pasar. Ketika harga jatuh, maka Bulog melakukan pembelian gabah dari petani dengan harga yang sudah ditetapkan agar petani tidak merugi.

Menyimak pernyataan Wapres Yusuf Kalla yang juga merupakan mantan petinggi Bulog itu, penulis mendapat kesan bahwa stok di gudang Bulog memang sedang tipis, itulah sebabnya Bulog membutuhkan impor 500.000 ton beras lagi untuk stoknya. 

Kalau memang tujuannya untuk stok Bulog, sudah seharusnya kita mendukung karena sejujurnya saat ini Bulog kurang mampu menahan kenaikan harga beras. Setidaknya Bulog butuh 2-3 juta ton beras standby untuk diguyur ke pasar agar para spekulan tidak gegabah untuk mempermainkan harga.

Konsumsi beras kita itu berkisar 28 juta ton per tahun. Jadi angka impor 500.000 ton itu memang tidaklah terlalu besar, apalagi sampai mengganggu penyerapan gabah dari panen petani. Nah berkaca kepada stok beras yang ada di gudang Bulog ini, apakah anda yakin 2016-2017 kemarin itu kita swasembada beras...? Wallahu a'lam....

Salam hangat

Reinhard Hutabarat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun