Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Djarot Calon Gubernur Sumut, Sebuah "Test The Water" PDIP

6 Januari 2018   18:17 Diperbarui: 6 Januari 2018   18:35 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Tribunnews.com

PDIP akhirnya menunjuk mantan gubernur DKI Jakarta, Djarot untuk maju menjadi calon gubernur Sumatera Utara 2018. Padahal tadinya banyak yang menyangka kalau Ara (Maruarar Sirait) yang bakalan maju menjadi calon gubernur Sumatera Utara dari PDIP.

Walaupun pemilihan Djarot ini cukup mengagetkan, tetapi cukup banyak juga warga Sumut yang antusias menyambut kedatangan Djarot ini. Maklumlah gubernur-gubernur Sumatera Utara sebelumnya sangat akrab dengan berbagai skandal dan kasus yang sangat memalukan. Jadi nama "para mantan" ini lebih populer sebagai bahan cibiran dan olok-olokan warga saja. Apalagi mereka ini juga sangat minim prestasi....

Pada Pilkada sebelumnya (tahun 2013) PDIP mengusung ES (Effendi Simbolon) yang berpasangan dengan JA (Jumiran Abdi) Namun mereka ini "keok" ditangan pasangan "Ganteng," Gatot Pujo Nugroho (yang kini meringkuk di hotel prodeo) dan Tengku Erry Nuradi.

Untuk basis massa PDIP, Pilkada 2013 bisa dipakai menjadi rujukan untuk Pilkada 2018. Sebelum Pilkada 2013, nama ES tidak begitu dikenal warga. Namun pasangan ESJA ini berhasil memenangkan 13 Dapil (Daerah Pemilihan) terutama di daerahNias (Gunung Sitoli, Nias, Nias Barat dan Nias Utara) dan juga dikawasan Batak (Sibolga, Taput, Humbahas, Simalungun, Tobasa, Samosir, Dairi, Karo dan Pematang Siantar)

Artinya bukan karena faktor ES adalah orang Batak makanya dia memenangkan 13 dapil tersebut, karena 3 paslon lainnya adalah orang Batak juga. Akan tetapi lebih karena 13 dapil tersebut memang merupakan basis PDIP! Artinya, siapapun calon PDIP (sepanjang tidak bermasalah) besar kemungkinannya akan menang di daerah basis PDIP ini!

Ada beberapa pertimbangan mengapa PDIP memilih Djarot. Mari kita simak analisanya dibawah ini,

Pertama, Popularitas nama Djarot.

Kalau ditanya warga di Sumut, nama siapakah lebih populer, Djarot atau ES? Bisa dipastikan nama Djarot yang merupakan mantan pasangan Ahok di DKI ini akan lebih populer daripada nama ES! Faktor Ahok memang turut juga menaikkan popularitas Djarot di Sumut! 

Jadi memang pemilihan Djarot ini sudah tepat. Ibarat wayang ditangan dalang, nama ES yang sudah kalah dalam "perang Baratayuda" sebelumnya, memang harus masuk kotak dan tak boleh keluar lagi!

Lalu bagaimana dengan nama Ara, bukankah dia Putra Daerah dan namanya relatif bersih? Nama Ara dan Djarot itu sama bagusnya di Sumut. Seperti diterangkan diatas, di basis PDIP itu faktor putra daerah tidak terlalu berpengaruh, karena faktor fanatisme partai lebih dominan. ES juga bukan putra daerah, cuma kebetulan saja ES ada marganya...

Sumut, terutama Medan sangat majemuk dengan masyarakat multi kultur. Sumut itu seperti "Indonesia kecil" yang masyarakatnya didominasi oleh suku Jawa, Batak, Melayu, Minang, Aceh, Sunda, Tionghoa dan India. Nama Ara jelas "menjual" untuk kalangan Batak, akan tetapi perolehan suara Ara itupun nantinya akan sebelas dua belas juga dengan perolehan suara ES kemarin.

Artinya suara Djarot itu juga,"ditangan" sudah akan sama dengan suara ES kemarin. Tinggallah nantinya Djarot berjuang pada "Daerah-daerah Netral" untuk menambah suara, dimana pada daerah ini nama ES atau Ara tidak akan terlalu signifikan untuk menambah suara!

Popularitas nama Djarot yang cukup dikenal di Sumut, relatif bersih dan dianggap berhasil menata Jakarta tentu akan bisa mendongkrak perolehan suaranya kelak.

Nama Edy Rahmayadi tentu saja dikenal di Medan, Binjai, Langkat atau Deli Serdang. Akan tetapi apakah orang di Nias, Humbahas, Dairi, atau Pakpak Barat mengenalnya? Untuk daerah-daerah netral atau daerah swing voter, faktor popularitas nama calon tentu saja akan sangat menentukan. Kalau soal popularitas, nama Djarot jelas lebih "instagramable," lebih populer bukan saja di Sumut, tetapi juga diseluruh Indonesia!  

Kedua, Strategi pemenangan Cagub.

Ketika bertarung di Pilkada Jakarta kemarin, isu "ayat dan mayat" menjadi senjata andalan lawan untuk mengalahkan pasangan Ahok-Djarot. Tapi kali ini dipastikan isu "ayat dan mayat" tidak akan laku di Sumut! 

Daerah ini sudah sangat teruji tingkat toleransinya untuk perbedaan agama dan konflik sosial lainnya. Kalaupun ada konflik sosial, itu biasanya hanya berlaku diseputaran premanisme, terkait urusan parkir, penguasaan lahan atau perkelahian saja...

Jadi memang untuk Pilkada-pilkada di daerah Sumut ini agak spesifik juga. Isu-isu yang diangkat tidak akan ada yang bersifat primordial atau SARA! Seluruh kontestan "didepan mata" akan adu program untuk meningkatkan kesejahteraan warga. 

Akan tetapi "dibelakang mata" mereka akan adu kuat melakukan "serangan fajar!" Yah namanya juga SUMUT (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) Hal itu berlaku mulai dari pimpinan tertinggi hingga rakyat jelata!

Di daerah Batak, biasanya TS (Tim Sukses) calon akan sering-sering mengadakan jamuan makan bersama. Ada sebagian warga yang sudah pernah dijamu makan oleh Calon "A" misalnya, akan sungkan nantinya kalau tidak memilih Calon "A" tersebut, sehingga tidak akan datang pada jamuan makan oleh Calon "B." Akan tetapi lebih banyak lagi warga yang akan tetap datang pada jamuan makan oleh Calon "A, B, C atau Calon manapun..."

Demikian juga dengan "serangan fajar." Warga yang "nakal" tetap saja akan menerima "serangan satu, dua atau tiga lembar pecahan Rp 100.000,-" dari semua kontestan tanpa terkecuali. 

Dan ketika berada di bilik TPS, mereka ini dengan teganya akan menghitung "kancing baju" untuk menentukan kontestan mana yang akan "ditusuknya..." Jadi sudah jelas kalau "serangan fajar" ini akan menghasilkan pemimpin dan warga yang sama juga bobroknya!

Nah kalau di Sumut ini tidak laku isu primordial dan SARA, lalu kontestan hanya bisa "membual" tentang pembangunan saja, maka Djarot adalah orang yang tepat! Simpang Susun Semanggi adalah karya emas Djarot terakhir sebagai gubernur DKI yang bisa dinikmati oleh para pelancong dari Sumut untuk menikmati "jembatan yang tidak ada sungainya tersebut..."

Jadi berbekal "pengalaman kerja" sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, nama Djarot jelas lebih menjual daripada calon lainnya....

Lalu bagaimana kalau Djarot kalah di Pilkada Sumut ini? Yah tidak apa-apa juga, wong di DKI kemarin dan pada Pilkada Sumut yang lalu juga calonnya PDIP itu kalah! Tetapi ada hal penting lainnya yang didapat. 

Yaitu untuk mengukur sejauh mana peta kekuatan PDIP untuk perhelatan Pemilu dan Pilpres 2019 nanti. Dan bukan hanya untuk mengukur kekuatan PDIP saja, tetapi juga untuk mengukur kekuatan PKS sebagai partai pemenang Pilgub Sumut yang lalu.

Hasil Pilgub Sumut 2018 jelas bisa menjadi barometer untuk mengatur strategi yang pas bagi pihak-pihak terkait untuk perhelatan Pemilu dan Pilpres 2019 nanti...

Salam hangat, Reinhard Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun