Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden Tolak Densus Tipikor Polri

25 Oktober 2017   17:27 Diperbarui: 25 Oktober 2017   17:50 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perseteruan DPR dengan KPK yang berujung pada pembentukan Hak angket KPK itu, telah menginpirasi Polri untuk membentuk Densus Tipikor ini. Maklumlah kalau tiba-tiba DPR berhasil "membekukan" KPK, bagaimana nantinya program pemberantasan korupsi di negeri ini? Jadi pembentukan Densus Tipikor merupakan langkah antisipatif terhadap pembekuan KPK. Untuk hal ini, Polri memang layak untuk diancungi jempol.

Memang sebelumnya DPR juga sempat mengancam akan membekukan anggaran Polri, bila polisi tak mau menangkap komisioner KPK yang tidak mau dipanggil untuk menghadap Pansus Hak angket KPK itu. Namun itu adalah sebuah keniscayaan. KPK bisa saja dibubarkan, akan tetapi Polri tidak akan mungkin dibubarkan. Lah kalau nanti ada yang kehilangan, emangnya anggota DPR itu bisa membuat laporan kehilangan itu di kantor pos?

Kedua, Pembagian kavling/wilayah kerja.

Cukup banyak anggota DPR dan juga petinggi parpol gerah dengan kinerja KPK yang katanya tak malu mengejar koruptor recehan. Menurut mereka seharusnya KPK fokus mengejar koruptor kelas kakap saja. Ceruk inilah yang coba dimanfaatkan oleh Polri dengan membentuk Densus Tipikor yang akan membentuk unit-unit kerja di seluruh wilayah hukum Indonesia. Artinya pembentukan Densus Tipikor ini tidak akan mengurangi atau overlapping dengan KPK. Justru sebaliknya, mereka akan saling melengkapi, seperti tutup dengan panci atau sumbat dengan botol.

Laiknya seperti dalam dunia premanisme, pembagian kavling atau wilayah kerja akan menghindarkan para aparat di lapangan untuk saling "menggunting dalam lipatan." Tidak akan ada lagi "jeruk makan jeruk" atau trilogi "cicak dan buaya" karena sudah jelas semua pembagian kerjanya. Nantinya KPK akan fokus pada "maling negara" kelas atas, sedangkan maling negara kelas menengah dan bawah, menjadi tanggung jawab Densus Tipikor. Akhirnya cerita KPK menangkap Sekretaris Desa yang korupsi proyek Bantuan Desa tidak akan pernah terjadi.

Ketiga, Kasus OTT yang terus menerus bertambah.

Walaupun OTT oleh KPK terus berlangsung, namun para "peserta OTT" yang bak peserta tax amnesty ini tidak pernah juga berkurang peminatnya! Bahkan pejabat tinggi negara yang sering menyerukan anti korupsi pun, ada beberapa orang diantaranya yang tertangkap basah dalam OTT KPK! Biasanya setelah tertangkap basah, mereka kemudian berubah menjadi pemalu dan tidak berteriak anti korupsi lagi.

Polisi pun sebenarnya sering juga melakukan OTT, tetapi yang terdengar biasanya pada kasus narkoba saja. OTT pada kasus penyuapan terhadap aparat kepolisian hampir tidak pernah kedengaran, kecuali kalau polisi yang disuap itu ternyata adalah seorang polisi gadungan! Entah lah, apakah ada polisi asli yang bisa disuap...?

Tampaknya itu jugalah yang membuat para petinggi Polri tertarik untuk meneliti mitos penyuapan pada polisi asli. Sebab salah satu tujuan dari pembentukan Densus Tipikor ini memang adalah untuk melakukan OTT...!

Demikianlah laporan pandangan mata dari luar halaman Istana Merdeka. Semoga Polri tetap bersabar sampai kocek negara membaik, siapa tahu pembentukan Densus Tipikor ini bisa terlaksana kembali.

Salam hangat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun