Rencana Polri untuk membentuk Densus Tipikor (Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi) telah menjadi polemik di masyarakat beberapa waktu terakhir ini. Presiden Jokowi akhirnya menolak pembentukan Densus Tipikor berbelanja sekitar Rp 2,6 triliun ini. Keputusan ini diambil setelah Presiden mendengar penjelasan Kapolri soal usulan Densus Tipikor dalam Rapat terbatas kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa 24 Oktober 2017 kemarin.
Presiden Jokowi sebenarnya justru ingin memperkuat tugas dan wewenang KPK ketimbang membentuk Densus Tipikor Polri berbiaya mahal ini. Presiden Jokowi juga ingin kedepan sinergi antara Polri dan KPK lebih ditingkatkan dalam konteks pemberantasan korupsi. Keputusan presiden ini memang sangat tepat. Anggaran belanja KPK hanya sepertiga dari anggaran belanja Densus Tipikor Polri, dengan hasil yang lebih terukur dan terpercaya.
Jadi kalau pemberantasan korupsi di Indonesia mau ditingkatkan lagi, cukup tambahkan saja seperempat dari anggaran belanja Densus Tipikor Polri itu ke Anggaran Belanja KPK. Maka hasilnya akan langsung terasa! Mungkin saja nantinya akan banyak anggota Polri dari polsek-polsek di seluruh Indonesia ini yang akan mengenakan rompi oranye KPK .
Frasa Densus Tipikor (Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi) ini memang cukup menarik hati. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Detasemen adalah "Satuan tentara atau polisi yang berada di suatu tempat untuk menjalankan tugas yang bersifat sementara. Artinya, dalam perspektif KBBI, tugas Densus Tipikor ini dalam memberantas korupsi hanyalah bersifat sementara saja.
Frasa "Sementara" ini memang mencakup beberapa pengertian yang bisa bias juga.
Pertama, misalnya ada seorang pejabat negara di daerah yang terindikasi terlibat korupsi. Lalu pejabat negara tersebut diperiksa oleh tim Densus Tipikor untuk "sementara waktu" saja. Artinya, sekalipun nantinya pejabat negara tersebut masuk ke dalam tahanan Densus Tipikor, jangan khawatir karena penahanan itu hanya bersifat sementara saja.
Kedua, Jangka waktu penugasan Densus Tipikor Polri ini untuk pemberantasan korupsi hanya sementara waktu saja. Artinya tidak untuk selamanya. Bisa saja untuk jangka waktu tiga, empat atau lima tahun, tergantung daripada kebutuhan. Tapi yang pasti hanya bersifat temporer saja! Nah kalau hanya temporer, lantas uang belanja untuk belanja modal membangun kantor dan peralatan tadi itu bagaimana nasibnya kelak...?
"Tidak ada asap kalau tidak ada api" Peribahasa ini menjadi rujukan penulis untuk menyingkap tabir wacana pembentukan Densus "Tipikhor" ini. Belum apa-apa, Kapolri sudah pede "pegang kalkulator" untuk menghitung uang belanja Densus Tipikor ini. Menurut Kapolri, belanja pegawai berkisar Rp 700 miliar, belanja barang Rp 300 miliar dan belanja modal berkisar Rp 1,5 triliun. Dengan anggaran yang proporsional, pegawai Densus Tipikor diyakini tak akan menyeleweng. "Untuk menyapu lantai yang kotor, sapunya harus bersih" demikian kira-kira filosofi sang Jenderal. Nah, kalau "sapu kotor yang pura-pura bersih itu, lantainya akan seperti apa nantinya Jenderal?"
Pada saat situasi kantong Negara lagi cekak begini, seharusnya Polri lebih sensitif terhadap segala aspek yang bisa menguras kantong SMI yang "galak" itu. Tentulah Polri tidak ujug-ujug untuk membentuk Densus Tipikor ini. Ada pertimbangan politik dan "ekonomis" yang melatar belakanginya. Posisi Polri memang sedang diatas angin, sehingga Polri terkesan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Angin apa gerangan yang membuat Polri begitu pede membentuk Densus Tipikor ini, mari kita cermati.
Pertama, Hak angket KPK
Perseteruan DPR dengan KPK yang berujung pada pembentukan Hak angket KPK itu, telah menginpirasi Polri untuk membentuk Densus Tipikor ini. Maklumlah kalau tiba-tiba DPR berhasil "membekukan" KPK, bagaimana nantinya program pemberantasan korupsi di negeri ini? Jadi pembentukan Densus Tipikor merupakan langkah antisipatif terhadap pembekuan KPK. Untuk hal ini, Polri memang layak untuk diancungi jempol.
Memang sebelumnya DPR juga sempat mengancam akan membekukan anggaran Polri, bila polisi tak mau menangkap komisioner KPK yang tidak mau dipanggil untuk menghadap Pansus Hak angket KPK itu. Namun itu adalah sebuah keniscayaan. KPK bisa saja dibubarkan, akan tetapi Polri tidak akan mungkin dibubarkan. Lah kalau nanti ada yang kehilangan, emangnya anggota DPR itu bisa membuat laporan kehilangan itu di kantor pos?
Kedua, Pembagian kavling/wilayah kerja.
Cukup banyak anggota DPR dan juga petinggi parpol gerah dengan kinerja KPK yang katanya tak malu mengejar koruptor recehan. Menurut mereka seharusnya KPK fokus mengejar koruptor kelas kakap saja. Ceruk inilah yang coba dimanfaatkan oleh Polri dengan membentuk Densus Tipikor yang akan membentuk unit-unit kerja di seluruh wilayah hukum Indonesia. Artinya pembentukan Densus Tipikor ini tidak akan mengurangi atau overlapping dengan KPK. Justru sebaliknya, mereka akan saling melengkapi, seperti tutup dengan panci atau sumbat dengan botol.
Laiknya seperti dalam dunia premanisme, pembagian kavling atau wilayah kerja akan menghindarkan para aparat di lapangan untuk saling "menggunting dalam lipatan." Tidak akan ada lagi "jeruk makan jeruk" atau trilogi "cicak dan buaya" karena sudah jelas semua pembagian kerjanya. Nantinya KPK akan fokus pada "maling negara" kelas atas, sedangkan maling negara kelas menengah dan bawah, menjadi tanggung jawab Densus Tipikor. Akhirnya cerita KPK menangkap Sekretaris Desa yang korupsi proyek Bantuan Desa tidak akan pernah terjadi.
Ketiga, Kasus OTT yang terus menerus bertambah.
Walaupun OTT oleh KPK terus berlangsung, namun para "peserta OTT" yang bak peserta tax amnesty ini tidak pernah juga berkurang peminatnya! Bahkan pejabat tinggi negara yang sering menyerukan anti korupsi pun, ada beberapa orang diantaranya yang tertangkap basah dalam OTT KPK! Biasanya setelah tertangkap basah, mereka kemudian berubah menjadi pemalu dan tidak berteriak anti korupsi lagi.
Polisi pun sebenarnya sering juga melakukan OTT, tetapi yang terdengar biasanya pada kasus narkoba saja. OTT pada kasus penyuapan terhadap aparat kepolisian hampir tidak pernah kedengaran, kecuali kalau polisi yang disuap itu ternyata adalah seorang polisi gadungan! Entah lah, apakah ada polisi asli yang bisa disuap...?
Tampaknya itu jugalah yang membuat para petinggi Polri tertarik untuk meneliti mitos penyuapan pada polisi asli. Sebab salah satu tujuan dari pembentukan Densus Tipikor ini memang adalah untuk melakukan OTT...!
Demikianlah laporan pandangan mata dari luar halaman Istana Merdeka. Semoga Polri tetap bersabar sampai kocek negara membaik, siapa tahu pembentukan Densus Tipikor ini bisa terlaksana kembali.
Salam hangat
Reinhard Freddy Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H