Seperti sudah diduga dan "diharapkan," Hakim tunggal Cepi Iskandar akhirnya meluluskan permohonan praperadilan yang diajukan oleh SN (Setya Novanto) Hasilnya status tersangka SN menjadi gugur, dan akhirnya SN bisa menghirup udara segar setelah urusan dengan sumbatan jantungnya menjadi lancar kembali. Ternyata memang ada korelasi yang kuat antara praperadilan dengan sumbatan di jantung...
SN merupakan tokoh penting dalam pentas politik tanah air. Ketua DPR dan juga Ketua Umum Partai Golkar ini menjadi "satu-satunya katalisator penting" bagi perubahan arah politik Indonesia. Secara individu, tidak ada seorangpun yang mampu menandingi kemampuan "akrobatik" politiknya. Jangankan Prabowo, Jokowi sendirian pun tidak akan bisa menandingi "pengaruh" SN untuk merubah arah politik tanah air sebegitu cepatnya.
Apa sih kehebatan SN ini?
Mari kita cermati rekam jejak SN ini di dunia perpolitikan tanah air.
Pada zaman orde baru berkuasa, Golkar praktis menjadi partai penguasa ketika itu. Ketua umum hanyalah sekedar perpanjangan tangan Soeharto selaku penguasa tunggal. Persaingan sengit justru ada dibawah level Ketua Umum. Mereka-mereka inilah kelak (atas restu penguasa) yang akan bersaing menjadi Ketum Golkar.
Reformasi kemudian membawa perobahan besar. Golkar menjadi "terpidana" dan ditinggal para kader yang berpetualang mencari kehangatan di pelukan partai lain, atau mendirikan partai baru untuk mencuri kursi Golkar yang sudah gempor itu. Akbar Tanjung yang "dirundung masalah" pun tak berdaya menahan Golkar menuju ambang kehancurannya. JK dan ARB juga terkesan hanya menunggangi Golkar demi hasrat pribadi semata.
Akhirnya tibalah waktunya SN menjadi nakhoda Golkar yang baru. SN yang "bukan Barat dan bukan Timur" ini terasa pas jadi nakhoda karena dia seorang "pebisnis" yang tak akan berniat untuk nyapres! Ini memang terasa pas untuk situasi Golkar saat ini. Laiknya PKI, Golkar juga masih dihantui oleh "pemutaran film G30S/PKI!" Kalau PKI selalu menjadi terdakwa "arwah yang hendak bangkit," maka Golkar adalah terdakwa "pembunuh hantu" Ketika kaum reformis yang juga merupakan "tim pemburu hantu" ini masih merajalela, tentulah lebih bijaksana kalau Golkar bermain aman dulu, agar tidak "dimasukkan kedalam botol..."
Sebagai pebisnis tulen, SN sudah banyak makan asam garam dalam dunia persilatan politik dan hukum tanah air. Berbagai ilmu keramat yang dikuasai oleh SN ini selalu berhasil meloloskan dirinya dari jeratan maut yang ditebarkan KPK maupun politisi saingan. Dulu Golkar merupakan tulang punggung KMP Prabowo. SN mau ikut KMP karena hal itu kemudian bisa menaikkan nilai tawar Golkar. Lalu SN berlalu dari Prabowo, hal mana membuat KMP menjadi merana. tetapi SN melakukannya juga untuk menaikkan nilai tawar Golkar!
***
KPK lalu menetapkan SN menjadi tersangka kasus e-KTP. Sontak dunia persilatan pun heboh, termasuk "orang dalam" juga. Lalu didalam rumah sendiri terjadi sedikit kegaduhan, karena ada yang hendak mencari "kesempatan dalam kesempitan." Setidaknya ada tiga faksi dalam tubuh Golkar yang jelas kelihatan ketika SN ditetapkan KPK menjadi tersangka kasus e-KTP.
Pertama, Pro SN Pro Jokowi
Kubu ini mati-matian membela SN terkait posisi mereka yang juga sangat nyaman dibawah ketiak SN. Ketika SN terjatuh, maka mereka pasti akan terseret juga bersama SN menuju kekelaman dan kehilangan previlege yang mereka dapatkan selama ini. Akhirnya nasib mereka akan sama dengan nasib "PNS Non-job!" Datang pagi, absen, baca koran atau main ke mal. Sore, absen lalu pulang ke rumah...
Kedua,Anti SN Pro Jokowi
Kubu ini sama pragmatisnya dengan kubu diatas. Masalahnya mereka ini merasa kurang puas dengan jatah yang diberikan SN selama ini kepada mereka. Yang lain memang berusaha untuk mencuri momen status tersangka SN ini untuk mendogkelnya dari singgasana Ketum Golkar. Lalu mereka ini menghembuskan isu bahwa perolehan suara Golkar akan hancur kalau SN masih tetap menjadi Ketum dengan status tersangka ini.
"Untung tak dapat dipeluk malang tak dapat ditendang!" Rupanya SN lolos dari jeratan "pukat harimau" KPK! Kini SN sudah pulang ke rumah dengan membawa "sapu untuk bersih-bersih" Kudeta gagal ini akhirnya berbuah pemecatan dengan judul konsolidasi dan penyegaran kader partai... Â
Ketiga,Anti SN, wait and see for Jokowi
Kubu ini jelas berseberangan dengan SN, dan mereka ini didukung oleh "pemain lama, dari Barat sampai Timur" Kubu ini juga merasa belum waktunya untuk memberikan dukungan penuh kepada Jokowi untuk perhelatan Pilpres 2019 yang juga masih lama itu. Segala sesuatu bisa saja terjadi dalam kurun waktu dua tahun kedepan. Apalagi belum ada kelihatan kandidat penantang yang mumpuni untuk menantang petahana.
Kubu ketiga ini justru lebih suka memberikan dukungan pada saat last minute, ketika semuanya memang telah fixed, sesuai dengan hitung-hitungan politik. Artinya bisa saja terjadi sesuatu dengan Istana, yang membuat Golkar bisa meminta bargaining politik yang lebih menguntungkan, atau malahan bisa saja mengajukan calon sendiri pada saat-saat terakhir.
***
Konon katanya kalau dalam posisi terjepit, tikus pun akan melawan dan menggigit! Itulah sebabnya dalam pertempuran (termasuk dalam bisnis) pihak pengepung yang bijak, akan membukakan "pintu belakang" agar lawan yang dikepung bisa mundur dengan terhormat tanpa kehilangan muka.
Petualangan bisnis SN dalam dunia "dagang politik" tanah air memang sudah mendekati akhir. Berkali-kali SN diperiksa KPK. Tidak ada juga orang sekooperatif SN ketika diperiksa oleh KPK. Akan tetapi "jejak SN ini pun tak pernah berbekas!" Mungkin ada "pintu belakang" di gedung KPK yang tidak pernah diketahui oleh para penyidik KPK itu...
SN adalah figur sentral dalam dunia politik Indonesia, terkait posisinya sebagai Ketum Partai Golkar. SN bukanlah sosok kontroversial seperti misalnya Fadli Zon atau Fahri Hamzah. Posisi SN yang seperti "joker" ini membuatnya mudah "berselancar" kesemua tempat yang tidak mampu digapai oleh politisi-politisi Senayan lainnya. SN menjadi figur penting dibalik kokoh dan ambruknya KMP. Peran SN juga sangat besar dalam menggolkan RUU-Tax Amnesty yang tadinya sangat sulit, tetapi langsung jadi ketika SN bertitah...
Pertanyaannya adalah, "Bagaimana hitung-hitungan politis antara Pemerintah-KPK-Setnov?" Pemerintah jelas membutuhkan peran sentral Setnov sebagai "katalisator" politik di Senayan. Akan tetapi kini KPK juga membutuhkan peran Setnov sebagai "palu" untuk mendobrak pintu e-KTP, dan sekaligus juga menjadi "perisai" untuk berlindung dari gempuran "teroris" Pansus hak angket KPK! Ini memang seperti buah simalakama. KPK adalah institusi hukum. Pemerintah dan DPR adalah produk politik! Ketika politik dan hukum tidak bisa berjalan seiring, maka harus ada yang dikorbankan agar semuanya bisa harmonis...
SN adalah tokoh sentral dalam diplomasi dan lobi-lobi politik tanah air. Ketika terjadi deadlock, peran SN menjadi vital dalam mencairkan dan mencarikan solusi bagi banyak pihak. SN selalu menyediakan "pintu belakang untuk negosiasi" ketika berhadapan dengan lawan politiknya, agar "hal-hal buruk" bisa dihindarkan. Peran sentral SN ini tentu saja tidak akan bisa dimainkan oleh para wakilnya yang cuma sekelas Fadli zon atau Fahri Hamzah itu! Selain itu, ketiadaan SN nantinya jelas akan mengubah lobi-lobi politik di Senayan akan menjadi lebih liar.
Sangat menarik untuk mencermati perkembangan kasus SN ini nantinya. Tarik menarik antara kepentingan SN, Golkar, DPR, KPK dan Pemerintah sendiri akan melebihi serunya serial "Drakor" (Drama Korea) yang sering membius ibu-ibu rumah tangga Indonesia itu...
Salam hangat
Reinhard Freddy Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H