Tapi apapun itu, konflik internal di bagian penyidikan KPK itu adalah urusan internal KPK sendiri yang tak perlu diurusin olah pihak lain. Justru dengan konflik itu kita harapkan KPK bisa memperbaiki manajemen SDM di Direktorat Penyidikan dan juga di direktorat lainnya.
Kedua, DPR.
Semua orang juga tahu kalau ada sebagian anggota DPR yang terlibat suap e-KTP dan juga kasus suap pada proyek lainnya. Semua orang juga tahu kalau pembentukan Pansus hak angket KPK adalah bagian dari strategi "tawar-menawar" suap e-KTP dengan KPK, dengan skenario terburuk adalah agar suap berjamaah itu bisa diatur dan cukup dikenakan kepada orang tertentu saja. Dengan demikian pamor orang-orang penting lainnya masih bisa diselamatkan.
Sekiranya "tawar-menawar" dengan KPK itu gagal, maka tidak ada pilihan lain. DPR akan berusaha keras untuk membubarkan KPK (tentu lewat jalur politik) Akhirnya terjadilah dengan apa yang disebut, "Menang jadi arang kalah jadi abu!" Dua-duanya hancur lebur!
Ketiga, Polri.
Sudah lama polisi "jijik" melihat perangai Novel dalam kasus air keras ini. Pun juga "perangai" Novel terhadap korps kepolisian. Padahal Novel itu adalah polisi, dididik dan dibesarkan oleh polisi! Yang terbaru, Novel meminta TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk menyelidiki kasusnya tersebut. Ini jelas terkesan politis (sama seperti Pansus hak angket KPK) Padahal polisi sudah mendatangi Novel di Singapura untuk membuat BAP, tetapi Novel malah menolaknya. Sialnya Novel malah "membual" kepada media asing dan lokal perihal seorang Jenderal polisi yang menjadi dalang musibah yang menimpanya. Sikap dan pernyataan Novel tersebut jelas mempermalukan Polri!
Walaupun KPK hanya diam saja, kehebohan aksi Novel ini jelas menguntungkan KPK dalam menunjukkan eksistensi dirinya terhadap Polri dan DPR! Dalam kasus air keras yang menimpa Novel, KPK sepertinya "menikmati kegalauan Kapolri," betapa susahnya untuk membuat sebuah BAP Novel....
KPK adalah bagian dari Polri (karena Polri menempatkan beberapa anggotanya di KPK) Akan tetapi Polri bukanlah bagian dari KPK. KPK sering menciduk oknum polisi yang korup tetapi Polri belum pernah menciduk oknum KPK yang korup! Penyidik KPK (mungkin dari kepolisian) mengungkap kejahatan demi negara dan kepuasan pribadi. Penyidik polisi mengungkap kejahatan demi atasan, korps dan "kepuasan" pribadi. Tanda kutip ("") jelas menjadi faktor pembeda kenderaan si penyidik!
Penyidik Polri ditubuh KPK seperti api dalam sekam yang seketika bisa meletup. Dalam beberapa konflik KPK-Polri beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba saja penyidik Polri di KPK ditarik karena dianggap "ngeyel dan tak tahu diri" (termasuk Novel, yang kemudian mengundurkan diri dari Polri) Hal ini jelas membuat penyidik KPK (dari kepolisian) menjadi serba salah seperti memakan buah simalakama! Dimakan mati emak (Polri) tak dimakan mati ayah (KPK)
Inilah yang terjadi pada Brigjen polisi Aris Budiman yang menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK, yang terlihat "memegang buah simalakama!" Aris berada dipersimpangan jalan. Karirnya di KPK terasa mandeg, dengan seorang anak buah yang tengilnya gak ketulungan. Pun di KPK Aris seperti "bukan siapa-siapa," dan diacuhkan. Mungkin kalau dia "dipulangkan" ke Polri, setidaknya dia masih bisa menjadi Kapolda, atau menjadi ah.... Inilah mungkin jawaban mengapa Aris Budiman "tega" melawan perintah atasan untuk kemudian membuka aib di DPR...
Apalagi ada sinyalemen bahwa dia ada menerima suap. Bagi Aris, jelas lebih dari cukup alasan untuk datang ke Senayan untuk memberi klarifikasi bahwa dia bukanlah seperti yang disangkakan, sebab sepertinya tidak ada seorangpun (termasuk instansinya sendiri) yang mau memberi klarifikasi bagi dirinya. Di satu sisi, jelas Aris menentang perintah atasan agar tidak datang ke Senayan. Tapi apa pun itu, masalah ini adalah urusan internal KPK sendiri.