Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prahara di Tubuh KPK

5 September 2017   14:05 Diperbarui: 5 September 2017   22:29 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Tribun Jabar - Tribunnews.com

Badai gelombang seperti tidak ada habis-habisnya menerpa lembaga anti rasuah ini. Dulu pimpinannya sendiri pernah masuk bui gegara skandal yang terkesan dipaksakan untuk melemahkan KPK ini.

Yang paling gres saat ini adalah pembentukan Pansus hak angket KPK yang bertujuan untuk "mengebiri" KPK walaupun oleh DPR katanya tujuannya adalah agar KPK menjadi sehat dan terhindar dari "penyakit kelamin!" Tetapi kenyataannya tidak ada seorangpun yang mau dikebiri, termasuk anggota DPR itu sendiri!

Belum selesai urusan kebiri mengkebiri, lalu terjadilah sebuah musibah. Novel Baswedan, salah seorang penyidik top KPK disiram air keras oleh orang yang tidak bertanggung jawab sepulang sholat subuh dari sebuah masjid di dekat rumahnya. Tiga bulan berlalu sejak Novel menanggung penderitaan itu, polisi belum berhasil jua menemukan jawaban atas tragedi tersebut.

Jawaban atas tragedi Novel masih tersembunyi dibalik kabut pekat, Novel lalu membuat pernyataan dan pertanyaan yang malah memojokkan dirinya sendiri. Pernyataannya adalah, ada seorang jenderal dibalik kasusnya itu sehingga pengungkapan kasus tersebut akan selalu gelap. Pertanyaan Novel sebelumnya adalah, Novel meragukan kapasitas Brigjen polisi Aris Budiman sebagai Direktur Penyidikan KPK lewat sebuah e-mail.

Akhirnya Aris Budiman melaporkan Novel ke polisi terkait e-mail dari Novel tersebut yang dianggapnya telah mencemarkan nama baiknya sebagai Direktur Penyidikan KPK. Konflik internal ditubuh KPK tersebut tentu saja "menyenangkan hati" para warga Senayan yang lalu mengundang KPK untuk "dibully" di Senayan. Pucuk dicinta ulam tiba. Brigjen polisi Aris Budiman akhirnya datang ke Senayan untuk memberi penjelasan (atas nama pribadi) tetapi bukan untuk mewakili KPK!

Sangat menarik untuk mencermati tarik menarik yang terjadi diantara trio KPK, DPR dan Polri (yang tersembunyi dibelakang layar) dengan Novel Baswedan dan Aris Budiman (muncul mendadak) sebagai tokoh sentral pertunjukan. Mari kita cermati uraian dibawah ini.

Pertama, KPK.

Adakah birokrat, DPR/PDRD/DPD, PNS, dan Polisi/Jaksa/Hakim yang suka kepada KPK? Jawabannya, nyaris tidak ada! Kekecualian hanyalah kalau yang bersangkutan itu adalah seorang nasionalis atau sedang "terganggu kejiwaannya." Jadi sangatlah wajar kalau dari eksternal KPK itu ingin dibubarkan saja. Yang terbaru tentu saja adalah pembentukan Pansus hak angket KPK.

Pada sisi internal, harus diakui kalau nama Novel Baswedan itu memang sangat berpengaruh. Apa yang dikatakan oleh Aris Budiman sebagai atasan Novel sendiri adalah benar adanya. Novel memang adalah seorang "rambo, mad dog, cobra" atau apapun namanya bagi seorang petugas yang tough, keras, gigih dan tak mau kompromi dalam menguber penjahat. Terkadang cara kerjanya memang "tak lazim," tengil dan terkadang suka mengabaikan perintah atasan.

Akan tetapi dimana-mana (di reserse, kejaksaan, auditor maupun instansi penyelidikan lainnya) selalu ada orang-orang seperti Novel yang sering memusingkan atasan maupun rekan kerjanya. Apalagi di tempat "super basah" seperti KPK yang rawan membuat para petugas "tergelincir," perilaku yang tidak normal rawan mengundang kecurigaan.

Nalurinya sebagai seorang petugas membuat Novel "sensitif" terhadap siapapun termasuk atasannya sendiri! Padahal Novel dengan "perilaku yang seenak udelnya itupun" jelas mengundang kecurigaan juga bagi atasannya dan orang lain...

Tapi apapun itu, konflik internal di bagian penyidikan KPK itu adalah urusan internal KPK sendiri yang tak perlu diurusin olah pihak lain. Justru dengan konflik itu kita harapkan KPK bisa memperbaiki manajemen SDM di Direktorat Penyidikan dan juga di direktorat lainnya.

Kedua, DPR.

Semua orang juga tahu kalau ada sebagian anggota DPR yang terlibat suap e-KTP dan juga kasus suap pada proyek lainnya. Semua orang juga tahu kalau pembentukan Pansus hak angket KPK adalah bagian dari strategi "tawar-menawar" suap e-KTP dengan KPK, dengan skenario terburuk adalah agar suap berjamaah itu bisa diatur dan cukup dikenakan kepada orang tertentu saja. Dengan demikian pamor orang-orang penting lainnya masih bisa diselamatkan.

Sekiranya "tawar-menawar" dengan KPK itu gagal, maka tidak ada pilihan lain. DPR akan berusaha keras untuk membubarkan KPK (tentu lewat jalur politik) Akhirnya terjadilah dengan apa yang disebut, "Menang jadi arang kalah jadi abu!" Dua-duanya hancur lebur!

Ketiga, Polri.

Sudah lama polisi "jijik" melihat perangai Novel dalam kasus air keras ini. Pun juga "perangai" Novel terhadap korps kepolisian. Padahal Novel itu adalah polisi, dididik dan dibesarkan oleh polisi! Yang terbaru, Novel meminta TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk menyelidiki kasusnya tersebut. Ini jelas terkesan politis (sama seperti Pansus hak angket KPK) Padahal polisi sudah mendatangi Novel di Singapura untuk membuat BAP, tetapi Novel malah menolaknya. Sialnya Novel malah "membual" kepada media asing dan lokal perihal seorang Jenderal polisi yang menjadi dalang musibah yang menimpanya. Sikap dan pernyataan Novel tersebut jelas mempermalukan Polri!

Walaupun KPK hanya diam saja, kehebohan aksi Novel ini jelas menguntungkan KPK dalam menunjukkan eksistensi dirinya terhadap Polri dan DPR! Dalam kasus air keras yang menimpa Novel, KPK sepertinya "menikmati kegalauan Kapolri," betapa susahnya untuk membuat sebuah BAP Novel....

KPK adalah bagian dari Polri (karena Polri menempatkan beberapa anggotanya di KPK) Akan tetapi Polri bukanlah bagian dari KPK. KPK sering menciduk oknum polisi yang korup tetapi Polri belum pernah menciduk oknum KPK yang korup! Penyidik KPK (mungkin dari kepolisian) mengungkap kejahatan demi negara dan kepuasan pribadi. Penyidik polisi mengungkap kejahatan demi atasan, korps dan "kepuasan" pribadi. Tanda kutip ("") jelas menjadi faktor pembeda kenderaan si penyidik!

Penyidik Polri ditubuh KPK seperti api dalam sekam yang seketika bisa meletup. Dalam beberapa konflik KPK-Polri beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba saja penyidik Polri di KPK ditarik karena dianggap "ngeyel dan tak tahu diri" (termasuk Novel, yang kemudian mengundurkan diri dari Polri) Hal ini jelas membuat penyidik KPK (dari kepolisian) menjadi serba salah seperti memakan buah simalakama! Dimakan mati emak (Polri) tak dimakan mati ayah (KPK)

Inilah yang terjadi pada Brigjen polisi Aris Budiman yang menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK, yang terlihat "memegang buah simalakama!" Aris berada dipersimpangan jalan. Karirnya di KPK terasa mandeg, dengan seorang anak buah yang tengilnya gak ketulungan. Pun di KPK Aris seperti "bukan siapa-siapa," dan diacuhkan. Mungkin kalau dia "dipulangkan" ke Polri, setidaknya dia masih bisa menjadi Kapolda, atau menjadi ah.... Inilah mungkin jawaban mengapa Aris Budiman "tega" melawan perintah atasan untuk kemudian membuka aib di DPR...

Apalagi ada sinyalemen bahwa dia ada menerima suap. Bagi Aris, jelas lebih dari cukup alasan untuk datang ke Senayan untuk memberi klarifikasi bahwa dia bukanlah seperti yang disangkakan, sebab sepertinya tidak ada seorangpun (termasuk instansinya sendiri) yang mau memberi klarifikasi bagi dirinya. Di satu sisi, jelas Aris menentang perintah atasan agar tidak datang ke Senayan. Tapi apa pun itu, masalah ini adalah urusan internal KPK sendiri.

Polri terlihat membisu saja dengan polemik Aris dengan KPK ini. Kini Aris menjadi "kerikil dalam sepatu KPK!" Aris adalah Direktur Penyidik KPK yang tidak mungkin aibnya dibukakan oleh para komisioner KPK. Tetapi Aris itu adalah seorang polisi juga. Sepertinya Polri sudah belajar banyak dari pengalaman ketika menghadapi anggotanya yang kemudian membangkang ketika di tempatkan di KPK. Jangan-jangan Kapolri kini tertawa juga melihat perangai Aris yang sekarang ini terlihat seperti seorang Novel Baswedan...

Salam hangat,

Reinhard Freddy Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun