Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sebentar lagi tentu pesawat pak Raharja, sang pejabat tinggi dari Jakarta akan segera tiba di Jogja. Krisna takut seandainya mbah Ponijan turut bersama mereka. Krisna lalu berbicara dengan mas Slamet perihal kedatangan pembelinya tersebut, dan meminta tolong untuk mengatur segala sesuatunya karena dia ada urusan mendadak ke Semarang siang ini.
Krisna lalu memberikan patung Roro Mendut dan nomor rekening bank-nya, sambil menjanjikan komisi bagi mas Slamet. Hal seperti ini memang adalah hal yang biasa bagi pedagang-pedagang barang seni di kawasan ini. Dulu itu Slamet pergi ke Lampung selama seminggu. Akan tetapi "kiosnya tetap saja berjualan" ditungguin oleh Krisna dan teman-teman pedagang lainnya.
Krisna lalu bergegas melarikan motornya menuju rumah kontrakannya. Astaga naga! Ternyata Roro Mendut masih berada disamping ranjangnya! Krisna menggosok-gosokan kedua matanya tidak percaya! Krisna lalu mencium bibir Roro Mendut dengan senangnya. Astaga naga! Bibir itu hangat sekali! Krisna lalu mencubit tangannya tidak percaya. "Edan tenan! Waduh, ini pasti pengaruh uang yang enam puluh juta rupiah itu. Lama-lama aku bisa gila beneren ini..." teriaknya.
Krisna segera bergegas membereskan segala sesuatunya. Tadi dia sudah meminjam mobil pick-up mas Gatot yang nanti sore hendak pergi ke Papua selama sebulan. Sebaiknya dia mengungsi dulu sementara waktu ke Muntilan, untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi terkait patung Roro Mendut ini. Dia sudah terlanjur sayang kepada Roro Mendut, dan tak ikhlas untuk menyerahkannya kepada sang pejabat.
Kalau segala sesuatunya berjalan lancar, barulah dia balik lagi. Akan tetapi, kalau uang yang enam puluh juta rupiah itu bisa cair, lebih baik dia tinggal di Muntilan saja bersama Roro Mendutnya. Uang segitu sudah cukup buat biaya hidup sederhana selama dua tahun di pedesaan....
Krisna sudah berada di kawasan Muntilan ketika ponselnya berbunyi. Ternyata mas Slamet. "Hallo Kris. Itu patungnya sudah diambil pak Imam. Mereka buru-buru mau langsung balek Jakarta, makanya datangnya cepetan. Tadi dikasih uang kontan enam puluh juta. Enam puluh juta tenan Kris! Lha.. Kris, aku takut, jadi tadi tak setor langsung ke rekeningmu lima puluh lima, sing lima karo aku kan...."
"Iya, iya mas, matur nuwun ya mas. Oh ya sekalian mas, kiosku tutupkan saja ya mas, aku ada urusan sebulan ini di Semarang. Oke ya mas, matur nuwun.."
Setelah berhenti sebentar disebuah ATM, Krisna lalu melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya. Sayup-sayup dari mobil pick-up itu terdengar nyanyian riang dengan sesekali diselingi jeritanan kegirangan...
Malam sudah mulai larut ketika Krisna berhenti membereskan rumah. Badannya sudah sangat letih menyapu dan membersihkan kamar tidurnya. Setidaknya kamar itu dulu prioritasnya untuk malam ini. krisna lalu meletakkan Roro Mendut disamping dipan kayu. Setelah mencium kening Roro Mendut, Krisna lalu tergeletak karena tak kuasa lagi menahan kantuk dan rasa lelahnya...
***
Sinar mentari pagi yang menembus sela-sela jendela kayu itu menerpa wajah Krisna, dan membuatnya terbangun. Udara pagi dari arah perbukitan itu seakan memeluknya, dan membuatnya ingin masuk lagi kedalam peraduannya.
"Hah!" Krisna bergumam kaget! Kamar tidur itu sudah rapi bersih. Rasanya kemarin malam masih berantakan. Siapa yang membereskannya? Krisna tak habis pikir.
"Hah!" Krisna berteriak kaget! Roro Mendut juga menghilang! Ini adalah untuk yang kedua kalinya. "Buset" gerutunya tak habis pikir.
Krisna segera keluar dari kamar, dan kini dia lebih takjub lagi. Seisi rumah sudah bersih, kinclong sama sekali! Lha siapa yang membersihkan? Sundari, sepupunya yang selama ini dititipin untuk menjaga rumah, juga sedang berada di Pamekasan menjaga mertuanya yang sedang sakit. "Apakah rumah ini ada "penunggunya?" gerutu Krisna perlahan. Tapi Krisna tidak percaya kepada hal-hal yang begituan. Apalagi ini adalah rumah miliknya, warisan dari mbah kakung Wagimin, kakek Krisna, yang juga diwarisi dari kakeknya mbah kakung Wagimin sendiri...
"Ah, jangan-jangan..." Krisna terkesiap. "Jangan-jangan ini kerjaannya kakek dari mbah kakung Wagimin sendiri ..." Krisna tertawa geli sampai kemudian wajahnya pucat pasi ketika melihat secangkir kopi diatas meja! Kopinya hitam. Baunya harum, khas kopi, dengan asap panas yang mengepul keluar dari dalam cangkir tersebut. Artinya kopi tersebut masih panas pertanda baru dibuat! Krisna lalu berjalan menuju dapur. Masih terlihat bara api dari kayu yang dipakai untuk menjerang air panas. Lalu terdengar suara lembut menyapa, "sudah bangun kakanda..."
Krisna lalu menoleh kearah suara itu. Terlihat sosok Roro Mendut di pojok dapur. Krisna lalu menatap ke arah mata, bibir dan dada Roro Mendut, lalu pandangannya mulai nanar. Tungkai kakinya lemas, dan rasanya mau pingsan. Apakah lemas itu karena dari semalam dia belum makan? Entah lah. Kemudian rasa lemas itu tak tertahankan lagi. Sebelum pingsan, Krisna masih sempat mencubit lengan kirinya dengan kuat. Sakit tenan! Lalu dia terjatuh ke lantai...
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H