Saya pribadi tidak selalu sependapat dengan tindakan kepolisian. Akan tetapi pada kasus Novel ini, Polisi dalam posisi terjepit. BAP saja belum ada karena Novel tidak mau. Tetapi sebagian masyarakat dan "kaum sebelah" telah memojokkan polisi terkait "isu jenderal Novel tadi" Ini kan sungguh tidak adil! Sebaiknya semua pihak bekerja sama membantu polisi, barulah sesudah itu boleh menilai rapor polisi ini. Diatas sudah disebutkan bahwa polisi pun tidak suka pada Novel, walaupun dia adalah mantan polisi! Tetapi ini urusannya bukan suka atau tidak suka, tetapi pengungkapan kasus, tugas profesional yang harus dikerjakan! Jadi sekalipun Novel tidak suka, dia harus membantu polisi dalam rangka menjaga sikap profesionalismenya sendiri.
Baru-baru ini Polri juga berencana untuk membentuk Densus Anti Korupsi. Kuat dugaan Densus ini akan dipakai untuk memperkuat nilai tawar Polri di hadapan KPK! Alasannya adalah polisi itu mempunyai jaringan dan personil sampai wilayah terpencil, sementara personil KPK terbatas jumlahnya. Dengan begitu, tangkapan kecil menjadi urusan polisi, sedangkan tangkapan besar sepenuhnya milik KPK. Untuk hal ini saya pribadi kurang setuju. Kini KPK semakin ganas saja menangkap "recehan" kelas Kades di daerah "yang ada polisinya" (artinya polisi daerah "tidak tahu" ada kasus di wilayah hukumnya sendiri!) Pembentukan Densus ini juga sepertinya sebagai langkah antisipatif sekiranya lembaga ad hoc anti rasuah ini benar-benar dibubarkan.
Ketiga, DPR
Lamanya Pemeriksaan kasus Novel ini jelas mengganggu proses persidangan politik KPK! Ini terkait empati masyarakat terhadap kasus Novel ini. Tidak sedikit juga masyarakat yang menghubungkan kasus ini dengan e-KTP. Tentu saja ini bukan kabar bagus buat DPR, karena sidang politik terhadap KPK itu tetap membutuhkan simpati dari masyarakat juga. Jadi walaupun DPR ingin kasus Novel ini cepat diungkap, tetapi mereka terpaksa harus bersabar menunggu perkembangan selanjutnya....
Keempat, pemerintah.
Suka tidak suka, enak tidak enak, selalu ada pemerintah di pihak terakhir yang menjadi "penikmat" dari setiap atraksi yang terjadi di panggung politik tanah air. Kemudahan akses pemerintah ke semua lini para "akrobatik politik," selalu membawa keuntungan bagi pemerintah untuk menekan pihak oposan. Dari semula pemerintah sepertinya memang tidak mau mengintervensi kasus ini. Dalam perjalanannya kasus kriminal ini kemudian bergelinding menjadi bola liar yang tidak terkendali dan bisa mengenai siapa saja kecuali "kaki pemerintah!"
Dalam bahasa politik, tidak ada kawan maupun lawan abadi, yang ada hanya kepentingan! Bola liar kini menggelinding dan bisa menimpa siapa saja, Jenderal (polisi) DPR, atau bahkan Oposisi yang dipersonifikasikan sebagai maling koruptor pembenci KPK! Kasus Novel (politik) ini memang pelik karena BAP-nya juga belum dibuat, dan orangnya gak mau....
Salam hangat,
Reinhard Freddy Hutabarat