Trending topik saat ini di luar isu politik adalah isu beras oplosan dan garam. Kalau urusan beras masih simpang siur dan cenderung akan senyap, maka urusan garam ini masih akan tetap pelik, menyangkut soal "rasa asin" yang konon kini harganya lebih tinggi dari "rasa manis..." Di Long beach (Pantai Panjang) Bengkulu, beberapa anak kecil yang berenang di pantai menjerit ketika mereka terminum air laut! Rupanya air laut telah kehilangan rasa asinnya karena saat ini harga garam di Bengkulu telah meroket sampai lima kali lipat dari harga sebelumnya....!
Polemik garam ini hampir sama seperti pada beberapa komoditi lainnya, "berlari liar sesukanya tanpa bisa dikendalikan!" Hal ini disebabkan oleh karena kita tidak memahami sepenuhnya "esensi dari apa yang kita bicarakan." Ini menyangkut makna, filosofi, perilaku dan data lengkap dari komoditi yang kita bicarakan. Tentu saja spekulan, pemburu rente, koruptor dan pelaku curang lainnya mengenal betul komoditi yang "digorengnya" itu, karena pengenalannya itu kemudian mendatangkan rezeki yang sangat berlimpah bagi pelakunya....
Beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja saya menonton pembahasan soal garam ini pada sebuah stasiun televisi yang menghadirkan Faisal Basri dan dua orang nara sumber lainnya. Yang seorang mewakili industri pengguna (konsumen) garam dan seorang lagi mewakili petani garam. Betapa anomalinya perekonomian kita jelas terlihat di situ! Sang petani "menjerit" karena harga rendah dan stok mereka menumpuk. Dia meminta agar impor garam dihentikan. Sang konsumen juga "menjerit" karena garam menghilang tanpa jejak! Faisal Basri terlihat kebingungan menjelaskan fenomena ini karena sepengetahuannya ekonomi itu selalu diatur oleh harmonisasi hukum permintaan dan penawaran!
Di satu sisi, petani mengaku punya "barang" tetapi dia menjerit karena barangnya tidak laku! Konsumen menjerit karena tidak punya barang, dan dia mau membeli walaupun harganya kini lebih mahal! Penjual menjerit karena tidak ada yang mau beli! Pembeli menjerit karena tidak ada yang mau jual! Pemerintah menjerit karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya mereka menangkap Ahmad Budiono, Direktur Utama PT Garam! Para pakar ekonomi menjerit dalam diamnya karena tidak bisa menjelaskan fenomena ini. Sebelumnya dua bulan lalu, Ahmad Budiono (juga mewakili para spekulan) sudah menjerit, kalau penyegelan gudang PT Garam yang berisi 75 ribu ton garam ilegal itu akan membuat harga garam meroket!
Ternyata dari semua pihak (petani, konsumen, pemerintah dan para pakar) tak ada satupun yang benar. Yang "benar" itu adalah Ahmad Budiono (kini sudah ditahan) dan para spekulan yang bisa menjelaskannya lewat sebuah tesis berjudul, "Kisah nyata! Pengaruh penyegelan gudang PT Garam terhadap menjeritnya seluruh dunia usaha, petani garam, konsumen, pemerintah dan para pakar perekonomian".
***
Daripada saling tuding untuk menyalahkan, lebih baik berusaha mengenali secara komprehensif mahluk asin ini. Syukur-syukur bisa mendapatkan sebuah solusi alternatif yang bisa membuat semua pihak menjadi happy. Untuk itu kita harus mengenal karakteristik dari semua pihak.
Pertama, Petani garam.
Petani mengelola garam dengan cara tradisional. Tambak diisi dengan air laut, lalu dijemur oleh terik mentari siang. Endapannya lalu menghasilkan garam. Itu saja, dan begitulah caranya sejak zaman kumpeni datang! Tidak ada satu perlakuan khusus atau standarisasi tertentu, misalnya berapa kadar Nacl yang didapat (selalu menjadi ukuran kualitas) kandungan kalsium dan magnesium (untuk industri pangan tidak boleh melebihi batas 400 ppm) Inilah missing link yang menjadi sumber pemicu jeritan tadi! Petani merasa garam yang mereka produksi itu seharusnya laku di pasaran, tetapi ternyata tidak!
Ini terkait dengan kuantitas dan kualitas yang di bawah standar. Namun di daerah Buleleng, Bali, ada juga produksi garam tradisional yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan produknya berhasil menembus pasar ekspor. Ini terkait cita rasa garam yang eksotik di lidah penggemar kuliner. Bali memang selalu memiliki added value terkait penampilan dan cita rasa. Itulah yang tidak dimiliki oleh garam pantura, yang hanya menawarkan "goyang pantura" saja, tanpa memiliki cita rasa yang memiliki nilai tambah!
Harga itu selalu terkait dengan daya saing! Sampai kapanpun, garam petani tradisional tidak akan laku kalau tidak mendapatkan satu treatment tertentu, yang mencakup intensifikasi, ekstensifikasi, infrastruktur tambak, teknologi dan tentu saja regim kebijakan yang mendukung. Semuanya itu butuh komitmen, biaya dan penanganandari orang yang tepat pula! Sepertinya tidak mungkin membebani APBN lagi untuk menangani persoalan ini, dan itulah yang saya tawarkan lewat artikel ini.
Kedua, Konsumen garam.
Kebutuhan garam nasional 2015 diperkirakan sekitar 3,6 juta ton, sementara produksi nasional sekitar 1,7 juta ton (Karena cuaca buruk, untuk 2017 produksinya pasti akan merosot) Dengan memakai "kalkulator Kemendag," kekurangan garam nasional adalah 3,6-1,7 =1,9 juta ton! Dengan memakai kalkulator industri pemakai garamternyata tidak begitu, "karena tidak semua yang bersisik adalah ikan!" Industri membutuhkan garam dengan kadar Nacl di atas 97%. Untuk industri farmasi, seperti misalnya cairan infus bahkan di atas 99% dengan standar keamanan lainnya yang harus terpenuhi, yang tidak bisa disediakan oleh garam pantura berkadar Nacl dibawah 90%
Garam lokal terasa pas untuk garam konsumsi (Kadar Nacl-nya dikisaran 65%) yang konsumsi nasionalnya sekitar 650 ribu ton/tahun. Garam lokal juga masih bisa dipakai untuk industri pengasinan ikan atau pakan ternak. Industri Kimia CAP (Chlor-Alkali Plant) membutuhkan 1,7 juta ton garam (Nacl>97%) Industri aneka pangan dan farmasi membutuhkan setidaknya 600 ribu ton. Jadi setidaknya kebutuhan garam Nacl berkadar >97% (impor) memang ada di kisaran 3 juta ton.Â
Fenomena menarik lainnya adalah ketika pengrajin ikan di Jawa terpaksa menghentikan produksi karena ketiadaan pasokan garam! Ini menunjukkan keadaan sebenarnya di lapangan, bahwa stok garam rakyat memang kosong! Artinya produksi garam memang anjlok karena perubahan cuaca! Produksi garam rakyat smester I (Januari-Juni) mungkin tidak sampai 500 ribu ton! Jadi kalau ada yang mengatakan garam petani menumpuk tidak laku, adalah "isapan jempol semata!" Karena bagi pengrajin ikan asin, selama wujud garam itu masih jelas, sekalipun rasanya sepat dan kurang asin, mereka pasti akan membelinya juga, agar mereka tidak menjadi pengangguran!
Ketiga, Pemerintah.
Kisruh soal garam ini membuat pemerintah kebingungan. Ada tiga pihak terkait yang mengurusi garam ini. Yang pertama adalah KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang mengurusi produksi garam rakyat. Izin impor garam industri juga harus berdasarkan rekomendasi KKP, ini  terkait untuk mengamankan produksi petani garam. Ini juga missing link yang menjadi pemicu efek jeritan tadi! Untuk garam konsumsi jelas kita setuju. Untuk garam industri kebutuhan khusus jelas tidak tepat! Tidak mungkin kita memaksakan garam lokal yang tidak memenuhi persyaratan untuk dipakai menjadi cairan infus di rumah sakit...
Yang kedua adalah Kemenperin (Kementerian Perindustrian) yang bertugas untuk menghitung kebutuhan industri. Soal data kebutuhan ini juga rancu karena tidak ada kebutuhan riil (termasuk kadar Nacl dan spesifikasi tertentu) dari semua industri nasional pemakai garam. Kalau datanya lengkap, tentu saja kita akan mudah membuat perencanaan kebutuhan garam impor yang sebenarnya. Soal data ini, lazimnya di negeri kita sejak dahulu kala, data selalu identik dengan kepentingan sipembuatnya!
Dulu saya mempunyai 4 (empat) buku untuk proyek yang sama. Buku I adalah untuk Pajak (keuntungannya sangat tipis) Buku II untuk Pemegang saham perusahaan (keuntungannya lebih besar dari Buku I) Buku III adalah untuk boss (keuntungannya lebih besar dari Buku II) Buku IV adalah untuk saya sendiri (keuntungannya jelas lebih besar dari Buku III) Saya tersenyum ketika melaporkan ketiga buku tersebut kepada boss. Tetapi boss tertawa terbahak-bahak, karena sebelum menjadi boss, dia juga duduk pada kursi kerja saya yang sekarang...
Yang ketiga adalah Kemendag (Kementerian Perdagangan) yang bertugas untuk mengeksekusi izin impor garam. Setiap terjadi kekisruhan pada tata niaga komoditas seperti misalnya beras, daging, bawang dan lain-lain, yang disalahkan pastilah Kemendag, padahal tugas Kemendag hanya mengeksekusi impor! Siapakah yang seharusnya in-charge pada masalah garam ini? Tentu saja KKP dan Kemenperin, karena masalahnya berada pada mereka!
Keempat, Usulan Solusi.
Dalam hemat saya penanganan garam oleh ketiga kementerian ini justru semakin memperpanjang rantai birokrasi, menambah biaya dan waktu impor garam. Seharusnya harus ada sebuah badan yangin-charge untuk mengurusi garam rakyat ini, dan yang paling tepat tentu saja adalah Bulog. Â Bulog bertugas untuk menyangga garam nasional dengan membeli seluruh garam rakyat dan menyimpannya di gudang. KKP bertanggung jawab untuk program pemberdayaan produksi garam rakyat, agar kelak mutunya bisa setara dengan garam impor.
Mengingat tingginya harga garam saat ini, dan juga keterbatasan pasokan akibat permainan spekulan, impor garam sebaiknya dilakukan sendiri oleh industri pengguna garam. Soal impor ini sebaiknya pemerintah (Depkeu) memperlakukannya seperti pada komoditi tembakau. Dengan alasan untuk melindungi industri lokal, impor garam dikenai bea masuk dan cukai yang harus dibayarkan ketika mengajukan izin permohonan impor garam (mirip seperti pita cukai rokok)
Kalau kebutuhan garam industri 3 juta ton, lalu Depkeu menerapkan cukai Rp 500 ribu/ton, maka Depkeu akan memperoleh cukai sebesar Rp 1.500 miliar di depan. Dari pendapatan tersebut, Depkeu lalu membagi Rp 250 miliar ke Bulog untuk menyangga garam nasional, Rp 250 miliar ke KKP untuk membangun infrastruktur tambak garam dan pemberdayaan produksi garam rakyat. Sisanya Rp 1.000 miliar bisa dipakai ibu SM untuk menambal APBN-nya...
Kalau sudah begini semuanya pasti akan happy. Industi akan senang karena bisa mendapatkan pasokan, harga yang pasti, dan kualitas garam yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Petani garam juga happy karena produksi garam mereka pasti akan dibeli oleh Bulog. Bantuan program pemberdayaan dan infrastruktur dari KKP akan meningkatkan kualitas garam mereka yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih sejahtera.
Ternyata program happy "3 in one" ini tidak menguras APBN, sebaliknya malah menambah pemasukan negara yang setara dengan "keuntungan spekulan" yang hilang! Rp 1.000 miliar memang termasuk kecil untuk APBN, tetapi kalau dilakukan pada banyak komoditi lain, tentu hasilnya akan sangat berarti! Setelah tiga kementerian terlibat untuk mengurusi garam, maka kementerian keempat kini ikut pula duduk untuk menikmati asinnya bisnis garam ini.
Salam hangat,
Reinhard Freddy Hutabarat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI