Mengingat tingginya harga garam saat ini, dan juga keterbatasan pasokan akibat permainan spekulan, impor garam sebaiknya dilakukan sendiri oleh industri pengguna garam. Soal impor ini sebaiknya pemerintah (Depkeu) memperlakukannya seperti pada komoditi tembakau. Dengan alasan untuk melindungi industri lokal, impor garam dikenai bea masuk dan cukai yang harus dibayarkan ketika mengajukan izin permohonan impor garam (mirip seperti pita cukai rokok)
Kalau kebutuhan garam industri 3 juta ton, lalu Depkeu menerapkan cukai Rp 500 ribu/ton, maka Depkeu akan memperoleh cukai sebesar Rp 1.500 miliar di depan. Dari pendapatan tersebut, Depkeu lalu membagi Rp 250 miliar ke Bulog untuk menyangga garam nasional, Rp 250 miliar ke KKP untuk membangun infrastruktur tambak garam dan pemberdayaan produksi garam rakyat. Sisanya Rp 1.000 miliar bisa dipakai ibu SM untuk menambal APBN-nya...
Kalau sudah begini semuanya pasti akan happy. Industi akan senang karena bisa mendapatkan pasokan, harga yang pasti, dan kualitas garam yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Petani garam juga happy karena produksi garam mereka pasti akan dibeli oleh Bulog. Bantuan program pemberdayaan dan infrastruktur dari KKP akan meningkatkan kualitas garam mereka yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih sejahtera.
Ternyata program happy "3 in one" ini tidak menguras APBN, sebaliknya malah menambah pemasukan negara yang setara dengan "keuntungan spekulan" yang hilang! Rp 1.000 miliar memang termasuk kecil untuk APBN, tetapi kalau dilakukan pada banyak komoditi lain, tentu hasilnya akan sangat berarti! Setelah tiga kementerian terlibat untuk mengurusi garam, maka kementerian keempat kini ikut pula duduk untuk menikmati asinnya bisnis garam ini.
Salam hangat,
Reinhard Freddy Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H