Kabar mengejutkan datang dari keluarga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengabarkan bahwa Ahok tidak akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta sehubungan dengan vonis dua tahun kurungan yang telah dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas kasus penistaan agama kepadanya. Sebelumnya Penasehat Hukum Ahok yang telah menyusun Memori Banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, akhirnya menarik kembali memori banding tersebut.
Sangat menarik untuk mencermati fenomena ini. Sejatinya terdakwa yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri pastilah akan mengajukan banding yang memang difasilitasi oleh undang-undang tersebut. Akan tetapi Ahok adalah fenomenal. Nama dan integritasnya jauh melebihi daripada vonis dan wibawa para anggota majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut. Mari kita cermati fakta-fakta tersembunyi dibalik pembatalan banding ini.
Pertama, Makna Hukum.
Seperti kita ketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memakai pasal 156.a untuk menjatuhkan vonis dua tahun kepada Ahok, melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum, 1 tahun penjara (2 tahun percobaan) yang memakai pasal 156 sebagai landasan tuntutan, karena pasal 156.a tidak terbukti sesuai dengan fakta di persidangan. Fakta hukum memang selalu debatable, itulah sebabnya disediakan fasilitas “Banding, Kasasi dan PK!” Atas “prestasi” majelis hakim yang mampu memvonis melebihi tuntutan JPU tersebut, mereka kemudian mendapat promosi jabatan dari atasan...
Fakta vonis hakim yang melebihi tuntutan JPU dan promosi jabatan para hakim tersebut, tentu saja menjadi “pertanda” bagi Ahok untuk melihat “kemanakah seharusnya dia mencari keadilan di negeri ini” Kini Ahok paham akan kalimat yang telah tersurat ribuan tahun yang lalu pada kitab Pengkhotbah 3:16, “... di tempat pengadilan, disitu pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, disitu pun terdapat ketidakadilan...” Ketika Ahok mencari keadilan kepada orang yang salah lagi, maka musibah yang lebih hebat akan menantinya. Kecuali kalau Ahok memang mengharapkan “orang-orang tersebut” mendapat promosi jabatan dari atasannya...
Ihwal promosi jabatan tersebut, lembaga kehakiman mengatakan bahwa proses promosi tersebut sudah berjalan lama sebelumnya, hanya kebetulan saja waktunya bersamaan dengan vonis Ahok itu. Mengingat sensitifnya kasus ini, seharusnya lembaga kehakiman bisa bersikap bijaksana untuk menunda sementara promosi ini agar tidak menimbulkan prasangka buruk dari masyarakat. Akan tetapi ada makna terselubung dibalik relasi vonis dan promosi jabatan ini.
1. Petinggi lembaga kehakiman ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa merekalah pemegang superioritas hukum, dimana mereka dapat membuat keputusan sendiri dengan mengabaikan opini JPU, sebagai lembaga penegak hukum lainnya.
2. Promosi jabatan itu dipakai sebagai reward, dan untuk melepaskan tekanan bagi anggota majelis hakim.
3. Walaupun berkedudukan sebagai lembaga hukum, namun para Petinggi lembaga kehakiman ini ingin menunjukkan posisi politis mereka kepada teman maupun lawan...
Kedua, Makna Sosial.
Sungguh luar biasa fenomena Ahok ini sehingga mampu membuat jutaan orang “menggila” untuk membencinya dan segala sesuatu yang dianggap berhubungan dengannya! Itulah salah satu alasan hakim menjatuhkan vonis dua tahun kepadanya. Ahok dianggap membuat kegaduhan di negeri ini! Sejak kasus yang berawal dari video editan Buni Yani ini mencuat, kegaduhan yang berlandaskan kebencian pun dimulai. Pihak-pihak yang berkepentingan segera memblow-upkasus ini demi keuntungan pribadi mereka.
“Musuh dari musuh kita, adalah teman kita,” merupakan fenomena baru lainnya gegara Ahok ini! Kini para rampok, maling, calo, pemburu rente dan penipu yang selama ini saling sikut agar bisa bergentayangan di DKI, akhirnya bersatu padu dengan segala cara untuk menyingkirkan Ahok. Gelombang aksi demo dan kegaduhan ini, baru berakhir setelah Ahok berada dalam tahanan. Artinya, kalaupun nanti hakim di Pengadilan Tinggi memvonis bebas Ahok, maka sekuel gelombang aksi demo dan kegaduhan pasti akan mulai lagi. Sebagai tanggung jawab sosialnya kepada warga, Ahok pun kemudian mengabaikan haknya untuk banding...
Ketika Ahok kemudian “bersemedi” di penjara, maka para bandit itu pun kehilangan musuh utama mereka. Suasana pun kembali seperti semula, sama seperti ketika Ahok “masih ditelan bumi.” Para bandit pun kemudian mulai bersaing untuk bergentayangan memangsa proyek, Bansos dan anggaran lainnya. Kini Ahok tersenyum di penjara melihat para musuhnya tersebut mulai saling tikam untuk meraup rezeki! Tiba-tiba saja sudah ada orang yang mengkavling reklamasi. Proyek RPTRA sudah di kavling sang Arsitek yang kemarin tidak dapat proyek ketika Ahok berkuasa! Pedagang PKL dan parkir pun sudah di kavling lagi oleh jawara lama....
Ketiga, Makna Politik
Ahok adalah fenomenal, dan tak ada nama yang lebih hebat daripada nama Ahok dalam kancah politik Indonesia. Bahkan nama Ahok juga laku dijual pada bursa pemilihan Ketua PBB (UN) kalau dia berminat mengikutinya. Dunia politik Indonesia dipenuhi dengan politik dagang sapi, bancakan dan politik uang. “Ada uang ada suara” adalah semboyan yang akrab ditelinga masyarakat Indonesia. Kalau berminat untuk “nyalon” Walikota/Bupati untuk daerah tingkat II kelas menengah, setidaknya dibutuhkan dana berkisar Rp 20 miliar!
Uang untuk membeli suara saja ternyata tidak cukup. Para kandidat itu terpaksa “melacurkan diri” keluar masuk kampung untuk mengikuti semua hajatan agar dikenal masyarakat. Dikenal dan uang banyak saja ternyata belum cukup juga! Kandidat masih membutuhkan restu dengan mahar yang tidak murah dari parpol pendukung. Setelah itu, kandidat juga perlu dukungan doa dari “Orang-orang suci” dan pemuka agama. Untuk itu kandidat harus “menyucikan dirinya” terlebih dahulu, setidaknya sampai hari pencoblosan tiba...
Ahok adalah fenomenal dan Ahok tidak membutuhkan semuanya itu. Satu juta suara dukungan tanpa biaya adalah salah satu bukti kehebatan Ahok. Ribuan karangan bunga, balon dan nyala lilin dari seluruh dunia adalah bukti kehebatan Ahok lainnya! Coba renungkan sejenak dan tanya di dalam hati, adakah anak negeri ini yang pernah mendapatkan penghormatan sehebat Ahok itu? Kini di tempat “pertapaannya” fenomena Ahok semakin menggila. “Ruh” namanya kini melegenda seperti “Gandhi, Ayatolla Khomeini, Mandela, Castro atau Soekarno” yang justru jauh melampaui kemampuan Ahok itu sendiri!
Penjara adalah “kawah Candradimuka” bagi para politisi jempolan. Revolusi Iran tidak akan terjadi kalau Khomeini tidak berada di tempat pembuangan. Gandhi mengusung kemerdekaan India justru dengan “ketidak berdayaannya”. Kalau Mandela tidak dipenjara, Afrika Selatan tidak akan pernah “merdeka!” Penjara adalah neraka bagi orang lain, tetapi tidak bagi Ahok. Fisiknya terkurung, tetapi jiwa dan “ruh kebesaran namanya” justru semakin bergelora....
Keempat, Makna Sprituil
Tertulis dalam kitab Pengkhotbah 3:1+11, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya...” Ini memang waktu yang tepat bagi Ahok untuk “berlibur,” lepas dari segala kegaduhan politik dan konflik sosial. Bagi para koruptor dan bandit, penjara memang menjadi siksaan karena mereka tidak bisa melampiaskan hasrat bejatnya dengan segala selingkuhannya. Akan tetapi Ahok datang ke penjara dengan mendapatkan kehormatan penuh dari masyarakat, dunia internasional serta para penjaga yang tak pernah lupa mengajaknya untuk berfoto bersama.
Penjara adalah “tempat sprituil” dimana justru “perjalanan sejarah akan dimulai!” Bagi Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Gandhi, Mandela dan tokoh-tokoh kelas dunia lainnya, penjara merupakan tempat “pelancongan” untuk merenungkan dan menuliskan kisah-kisah inspiratif yang dapat mengubah perjalanan nasib suatu bangsa. Raganya memang terkurung, tetapi jiwanya akan selalu bebas pergi kemana pun dia mau. Dia tidak perlu takut, karena dia berjalan dengan pelita kebenaran, kesetiaan dan kepatuhan. Itulah yang membuatnya fenomenal dan selalu ada di hati orang-orang yang mencintainya....
Era Reformasi kemudian melahirkan tokoh-tokoh seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Anas Urbaningrum, Patrialis Akbar dan para maling lainnya yang membawa negeri ini menuju kekelaman. Akan tetapi, sejarah akan terus berjalan untuk menemukan setidaknya seorang tokoh yang dapat mengubah arah perjalanan sejarah tersebut. Sejarah itu telah disemai, sama seperti pada era sebelum kemerdekaan dulu. Dua tahun lagi sejarah tersebut akan berbuah dan akan matang untuk dipanen....
Bangkitlah Rakyat Negeriku, Majulah Bangsaku, Jayalah Negaraku!
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H