3. Amin Rais
Ahirnya kesampaian juga Amin Rais menuntaskan nazarnya berjalan kaki dari Jogja ke Jakarta, walaupun hanya berjalan kaki mondar-mandir dari tempat duduk menuju toilet didalam pesawat Jogja-Jakarta! Itulah sebabnya kemarin dia bersemangat longmarch dari Istiqlal menuju Balaikota untuk berdemo menentang Ahok bersama Habib Rizieq dan FPInya.
Dalang Poros Tengah ini adalah pakar strategi abal-abal, pandai memancing di air keruh dan termasuk banyak bacot, melebihi Ahok! Mencoba strategi “ala Suharto pada 1965” Amin melakukannya pada 1998. Dalam sekejap dia berubah menjadi “Tokoh Reformasi,” pahlawan diatas penderitaan para mahasiswa yang bonyok-bonyok kena pentungan dan injakan kaki aparat itu!
Ambisi jahatnya untuk menjadi presiden ditutupinya dengan menjegal Megawati, lalu menaikkan Gus Dur menjadi presiden, dengan tujuan Gus Dur dibuat menjadi “boneka” yang bisa diatur, dan kelak akan dilengserkannya. Amien pun memilih untuk menjadi ketua MPR.
Akan tetapi Gus Dur kemudian menyebutnya sontoloyo. Karena sakit hati, Gus Dur pun mereka lengserkan. Akan tetapi dia tidak pernah kesampaian menjadi presiden.
Amin lalu mencoba peruntungannya Pada Pilpres 2004, akan tetapi “gatot’ (gagal total) dan sejak itu namanya meredup. Tak ada lagi jabatan yang tersedia buat Amien, sementara “hasrat libidonya tak pernah padam” Ahirnya dia seperti “orang sakaw” yang selalu “memarahin orang lain” Sifat buruknya yang dulu tersembunyi ini ahirnya ketahuan juga. Amien ahirnya dicuekin orang, bahkan dikampungnya sendiri!
Kini sekonyong-sekonyong Amien hadir di Jakarta. Bukannya memberi kesejukan bagi warga, malah dia berduet orasi dengan si Rizieq Rubicon. Lho koq Rubicon. Ya, itu karena Rizieq anti Amerika ini dulu suka pawai naik mobil Rubicon terbuka. Jadi nama Rubicon itu untuk membedakannya dengan Rizieq Lontong, yang berjualan lontong di Senen, atau Rizieq Bajaj, tukang bajaj yang suka mangkal di Otista itu.
Lantas ngapain kakek Amin ini berorasi dengan Rizieq Rubicon diatas truk? Rupanya kakek ini terjangkit penyakit Narsis, Post power syndrome akut. Dia ingin selalu jadi pusat perhatian, tidak perduli pada perhelatan apapun, dan dengan cara bagaimanapun.
***
Ahirnya apa yang dapat kita petik dari perjalanan karir ketiga tokoh diatas?
Yang pertama tentu saja “syndrome mabuk kekuasaan” yang tidak berkesudahan. Hal ini jelas terlihat pada tokoh senior Amin Rais dan Yusril yang belasan tahun malang melintang di puncak kekuasaan. Sudah sepantasnya mereka pensiun dan menikmati hari tuanya dengan keluarga sambil sesekali bercengkerama dengan masyarakat luas.