Kemarin ada berita yang menarik seputar OTT pungli yang dilakukan oleh polisi di Kemenhub. Isu pungli adalah isu yang biasa, karena jauh sebelum internet ditemukan pun, pungli adalah hal yang lumrah dilakukan masyarakat yang sudah terbiasa dengan pungli. Bahkan sebagian masyarakat malah takut berurusan kalau tidak ada punglinya, karena takut akan kena tumbal :-)
OTT pungli ini menarik perhatian masyarakat disebabkan oleh dua hal:
Pertama, karena begitu dideklarasikan oleh Jokowi, beliau sendiri langsung “menghadiri” OTT tersebut dengan Kapolri. Biasanya KPK lah yang melakukan OTT yang melibatkan uang.
Polisi biasanya melakukan OTT Narkoba, sedangkan Satpol PP biasanya melakukan OTT Perselingkuhan, Banci atau bisnis “esek-esek”
Kedua, duo serigala eh duo wakil ketua DPR itu, kompakan mengkritisi kehadiran Jokowi atas OTT tersebut. Mereka menganggap Jokowi “kurang kerjaan” karena nilai pungli itu hanya sedikit sekali (puluhan juta rupiah)
Untuk ukuran kelas Kabupaten atau bahkan Kecamatan pun, jumlah segitu itu terasa kecil.
Jadi Presiden tidak pantas mendatangi “tekape” kecuali memang kalau mereka itu hendak “memunglikan” gedung Kemenhub! Itu juga bukan karena nilai gedungnya itu sendiri, akan tetapi lebih kepada pertimbangan, sekiranya gedung itu akan dipunglikan, lantas dimana nantinya Menteri Perhubungan akan ngantor?
Duo wakil ketua DPR itu takut kalau berita tersebut sampai terdengar oleh negara tetangga atau PBB, karena berita itu pasti akan mempermalukan posisi negeri yang sudah terkenal “kepungliannya” ini dalam pergaulan internasional. Menurut duo wakil ketua DPR itu, biarlah masalah pungli uang receh segitu diurus oleh Lurah atau sekelas staff kepala seksi saja.
Dengan demikian, posisi kita sebagai negara “terkorup dan terpungli” di seantero jagad akan tetap aman dalam dekapan. Memang prestasi olahraga, swasembada pangan dan ekonomi kita itu sudah lama terjungkal. Akan tetapi dalam perilaku ahlak yang buruk, kita bolehlah berbangga hati dalam pergaulan internasional. Seperti sayur tanpa garam, demikianlah perikehidupan kita. kalau tidak ada korupsi dan pungli, “hidup gak rame!”
***
Itulah sebabnya presiden Jokowi menganggap kehadirannya pada OTT itu sangat penting, karena akan menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia. Jokowi ingin menyadarkan seluruh masyarakat Indonesia, bahwa pungli itu sangat buruk akibatnya.
Pada awalnya masyarakat mungkin menganggap sepi pungli uang receh, misalnya Rp 5.000 karena biaya parkir saja bisa mencapai Rp 50.000.
“Langkah besar diawali oleh satu langkah kecil” Demikian juga, korupsi atau pungli selalu dimulai dari uang receh. Pegawai rendahan memulai karirnya dengan “salam tempel” Kemudian berkembang menjadi “uang kopi” Lalu berkembang ke “uang amplop” ketika jabatan sudah menjadi kepala seksi.
Ahirnya pungli itu bermetamorfosa ke internal dan eksternal. Pegawai salam tempel harus menyetor ke atasannya agar ada job, sehingga orang-orang “mau menyalaminya”.
Yang tidak mau “ikut aturan” biasanya sehabis absen pagi akan duduk-duduk baca koran atau main catur di kantin. Demikian seterusnya pungli itu mengikuti hirarki jabatan. Pada dasarnya korupsi dan pungli itu selalu berjamaah dan saling terkait satu sama lain!
Pungli memang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari pengurusan KTP, bahkan Surat Keterangan Miskin pun kena pungli. Penerima beras Raskin berkutu pun sering kena pungli, tetapi tidak ada yang mempersoalkannya. Semuanya maklum saja seperti, misalnya “panu” yang nempel di leher seseorang. Tidak mungkin juga membuang leher tersebut hanya gara-gara panu tersebut. Apalagi panu tersebut kelihatannya tidak berbahaya dan mengganggu.
***
Akan tetapi tahukah anda mengapa negeri ini bisa dijajah oleh bangsa kecil selama ratusan tahun? Penjajah itu ukurannya hanya seperti kutu kalau dibandingkan dengan yang dijajahnya.
Penjajah itu “menganjurkan” raja-raja hingga wedana bahkan sampai centeng lokal untuk melakukan pungli bagi warganya sendiri! Nikmatnya uang pungli itu membutakan mata dan bathin mereka sendiri.
Ahirnya rakyat negeri ini hanyut dengan stigma pungli selama ratusan tahun. sejak jaman kumpeni hingga kini, berjuta warga ingin menjadi “ambtenaar” (pegawai negeri)
Mereka bahkan rela untuk membayar uang pungli. Kelak mereka itu akan melakukan pungli untuk mengganti biaya yang telah mereka keluarkan, dan juga untuk memperkaya dirinya sendiri.
Bagi anak “inlander” itu, ada suatu rasa nikmat, seperti endorfin yang membuncah ketika menerima uang pungli tersebut dari sipemberi.
Rasa nikmat itu tidak pernah berhenti, bahkan ketika akan menutup mata. Jadi pungli tidak semata uang saja, tetapi juga suatu penghormatan dan pengakuan atas sebuah kekuasaan!
Jadi dari segi historisnya, kita memang mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melakukan pungli karena pungli itu sudah seperti budaya dalam masyarakat kita. Kita semuanya harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini karena melakukan pembiaran selama ini.
***
Disatu sisi, kita harus mengapresiasi langkah presiden Jokowi ini. Ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya. Tidak ada yang dapat mengatasi pungli. Tidak wakil ketua DPR atau Kapolri sekalipun karena di tubuh polri pun banyak terjadi pungli.
“Yang kotor atau yang kurang bersih tidak dapat membersihkan yang kotor!” Hanya seorang presiden yang dapat melakukannya!
Jokowi telah memulainya. Proses pembersihan ini akan berlangsung lama, dan hasilnya tergantung kepada dukungan rakyat negeri ini. Kalau percaya kepada Jokowi yang telah memulainya dan tetap mendukungnya, maka proses pembersihan akan berjalan cepat dengan hasil yang bagus.
Bagaimana dengan suara sumbang dari wakil rakyat tersebut? Abaikan saja. Kalau ada anggota DPR yang ngomong ngawur, memang begitulah adanya karena yang memilih mereka adalah orang-orang ngawur juga. “Kalau anda melihat dua ekor kebo bernyanyi sumbang, tunggu saja. Dibelakangnya ada banyak kebo-kebo bodoh yang mengikutinya. Karena hanya kebo yang memilih kebo sebagai representatifnya sendiri!”
Dulu ada seorang boss besar di Pariwisata. Kabarnya zipper celananya ada dua. Anak buahnya sangat takut kepadanya. Untuk menjauhkan anak buahnya dari urusan pungli, dia selalu berkata, “Jangan main-main ya sama saya, awas kalau ketahuan, nanti tak mainin.....!”
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H