Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pungli, Oh... Pungli

14 Oktober 2016   19:01 Diperbarui: 14 Oktober 2016   19:17 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awalnya masyarakat mungkin menganggap sepi pungli uang receh, misalnya Rp 5.000 karena biaya parkir saja bisa mencapai Rp 50.000.

“Langkah besar diawali oleh satu langkah kecil” Demikian juga, korupsi atau pungli selalu dimulai dari uang receh. Pegawai rendahan memulai karirnya dengan “salam tempel” Kemudian berkembang menjadi “uang kopi” Lalu berkembang ke “uang amplop” ketika jabatan sudah menjadi kepala seksi.

Ahirnya pungli itu bermetamorfosa ke internal dan eksternal. Pegawai salam tempel harus menyetor ke atasannya agar ada job, sehingga orang-orang “mau menyalaminya”.

Yang tidak mau “ikut aturan” biasanya sehabis absen pagi akan duduk-duduk baca koran atau main catur di kantin. Demikian seterusnya pungli itu mengikuti hirarki jabatan. Pada dasarnya korupsi dan pungli itu selalu berjamaah dan saling terkait satu sama lain!

Pungli memang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari pengurusan KTP, bahkan Surat Keterangan Miskin pun kena pungli. Penerima beras Raskin berkutu pun sering kena pungli, tetapi tidak ada yang mempersoalkannya. Semuanya maklum saja seperti, misalnya  “panu” yang nempel di leher seseorang. Tidak mungkin juga membuang leher tersebut hanya gara-gara panu tersebut. Apalagi panu tersebut kelihatannya tidak berbahaya dan mengganggu.

***

Akan tetapi tahukah anda mengapa negeri ini bisa dijajah oleh bangsa kecil selama ratusan tahun? Penjajah itu ukurannya hanya seperti kutu kalau dibandingkan dengan yang dijajahnya.

Penjajah itu “menganjurkan” raja-raja hingga wedana bahkan sampai centeng lokal untuk melakukan pungli bagi warganya sendiri! Nikmatnya uang pungli itu membutakan mata dan bathin mereka sendiri.

Ahirnya rakyat negeri ini hanyut dengan stigma pungli selama ratusan tahun. sejak jaman kumpeni hingga kini, berjuta warga ingin menjadi “ambtenaar” (pegawai negeri)

Mereka bahkan rela untuk membayar uang pungli. Kelak mereka itu akan melakukan pungli untuk mengganti biaya yang telah mereka keluarkan, dan juga untuk memperkaya dirinya sendiri.

Bagi anak “inlander” itu, ada suatu rasa nikmat, seperti endorfin yang membuncah ketika menerima uang pungli tersebut dari sipemberi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun