Mereka ini adalah kaum yang bisa mengapresiasi karya anak bangsa sekalipun karyanya itu jelek dan menyusahkan. Mereka ini kaum yang sudah mapan tapi bersahaja. Kaum ini juga “narsis” Ini adalah contoh dari mereka, yang baru tiba di T3. Setiap kali ada sudut yang bagus (di T3) ia lalu menyetop orang yang lewat minta difoto. Tidak terasa, kakinya sudah mulai keletihan. Maklum jaraknya memang jauh sekali.
Kaum Tegar tidak mengeluhkan petunjuk yang jelas kurang memadai. “Karena jalannya hanya satu, pasti semua menuju titik yang sama” ujarnya. Ia begitu tegar menuju tempat parkir seperti yang disampaikan crew Garuda saat landing melalui pengumuman di pesawat. Jelas kaum ini memiliki “indra ke-enam” karena mampu menyusuri bandara seluas 422.804 M2 tersebut tanpa tersesat hanya berdasarkan petunjuk cabin crew di pesawat.
Kaum Tegar ini menyukai tantangan dan “penyuka banjir” Menurut profesor mereka berkata, “saya cari banjirnya ada dimana, ternyata cuma ada di tivi. Banjirnya sepuluh menit beritanya dibiarin tiga hari. Saya pikir sudah tidak bisa keluar dari terminal. Sayang cuma 10 menit”
Kaum Tegar ini juga “penggila keringat” Ada seorang yang berkata, “Gila, gua keringetan jalan jauh ke mobil. Pegel juga. Tapi benar-benar bagus” katanya lagi.
2. Kelas Menengah Baru Indonesia Cengeng
Menurut profesor, Kaum Cengeng ini adalah pemula “serasa expert” atau kalangan mapan yang “sulit untuk dipuaskan” contohnya seperti dalam khayalan profesor, seorang kaum cengeng traveling ke Madrid dengan membawa koper-koper besar. Orang normal lantas tertawa, travelling kok membawa koper-koper besar?
Disinilah “kiat” sang profesor untuk menunjukkan “kedunguan” kaum cengeng, agar mendapat simpati dari pemirsa. Kalau zaman dulu orang sering bepergian membawa CD bajakan playstation untuk dijual di luar negeri, mungkin koper-koper ini berisi “ramuan Mak Erot” yang akan dijual untuk menambah ongkos pulang ke Indonesia kelak.
Menurut profesor, biasanya koper-koper besar hanya dibawa traveler pemula atau pencemas yang ribet. Segalanya ingin dibawa termasuk mungkin panci, ember, sapu dan lain-lain.
Disini sang profesor ingin menunjukkan, bahwa pengkritik T3 itu adalah orang-orang bodoh, pencemas yang ribet, provokator, antek-antek luar negeri, orang-orang bayaran Singapura dan para penghianat yang tidak menghargai negeri sendiri, seperti yang dapat kita lihat pada artikel curhatan dan cuitan di twitter beliau.
***
Perbedaan pandangan adalah hal yang biasa dan terkadang diperlukan untuk perbaikan dan kemajuan. “Besi menajamkan besi” Bukankah pisau tajam karena sering diasah?