Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rhenald Kasali dan Kelas Menengah yang Cengeng

10 Oktober 2016   18:50 Diperbarui: 10 Oktober 2016   20:00 4813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara teknis, sangat sulit dipahami mengapa hal ini bisa terjadi. Ini hanya soal sederhana antara hubungan outlet dan inlet drainase. Instalasi dari talang atap hingga saluran induk di bawah lantai gedung sudah selesai terpasang. Akan tetapi saluran outlet dari bak kontrol menuju danau buatan belum selesai.

Ketika terjadi hujan lebat, air yang jatuh ke atap mengalir ke talang, lalu menuju saluran induk di bawah gedung, tetapi air itu kemudian tertahan di bak kontrol yang terletak di areal kedatangan bandara. Akibatnya terjadilah banjir yang menggenangi areal kedatangan. Bahkan dari bak kontrol yang tutupnya dibuka itu, terlihat air mancur “menari-nari” keluar dari dalam tanah.

Kita memang kurang mampu berpikir dan bertindak secara komprehensif. Kalau memang pengoperasian bandara harus dipaksakan juga, seharusnya talang air atap dibuka, agar ketika hujan turun, air hujan yang jatuh ke atap itu tidak masuk ke saluran induk di bawah gedung yang masih belum selesai tersebut.

Pihak APII (Angkasa Pura II) mengatakan hal itu terjadi karena curah hujan yang tinggi dan adanya material tripleks yang tertinggal pada bak kontrol. Tahukah anda berapa volume air banjir tersebut? Terminal3 Ultimate mempunyai luas bangunan 422.804 M2. Anggaplah misalnya luas atapnya 100.000 M2. Curah hujan rata-rata 5-10 liter/menit.

Karena hujan sangat deras, anggap 10 liter/menit. Dengan durasi hujan 30 menit saja, maka volume air banjir tersebut adalah : 100.000M2 x 10 liter/menit x 30 menit = 30.000.000 liter! Atau setara dengan isi 3.000 truk tangki berkapasitas 10.000 liter.

Untuk mengantisipasi terulangnya peristiwa banjir tersebut, kontraktor akhirnya membuat sodetan dari boks kontrol menuju sungai terdekat. Selain itu, kontraktor juga membuat by pass talang dari atap untuk langsung dibuang ke saluran drainase terbuka diluar, untuk mengurangi air yang masuk ke drainase tertutup di bawah gedung.

Ini adalah bukti perencanaan yang kurang tepat, karena jelas-jelas volume air yang jatuh ke atap tidak pernah dihitung. Kontraktor juga kurang mampu memperhitungkan segala aspek yang “pasti” akan terjadi. Ini bukan musibah atau bencana. Setahun terakhir hampir setiap hari terjadi hujan. Talang juga didesain untuk menampung air hujan yang jatuh ke atap gedung raksasa itu. Lalu apa masalahnya?

***

Rupanya sang profesor ini tidak tahan juga telinganya mendengar keluhan para pengguna Terminal 3 Ultimate “karya anak bangsa” yang digadang-gadang kualitasnya melebihi Changi airport ini. Karena dia itu seorang profesor, bukan seorang habib Rizieq dari FPI, maka dia lalu “mengungkapkan kemarahannnya” dengan curhatan ala pak Beye style.

Mari kita teliti dan uraikan latar belakang dan tujuan dari curhatan sang profesor ini. Untuk meluapkan amarahnya terhadap pengkritik Terminal 3 Ultimate tersebut, dia lalu “berkhayal” untuk menohok para pengkritik itu. T3 ini adalah bandara internasional. Jadi jelas kebanyakan penggunanya adalah kelas menengah ke atas, dan itulah sasaran tembaknya. Karena Mukidi mungkin hanya sekali setahun ke T3, maka profesor ini mengabaikan keluhan manusia-manusia pengguna moda transportasi bus bertype Mukidi. Menurut profesor, kelas menengah baru Indonesia (pengguna T3) itu ada dua. Yaitu yang Tegar (pengagum T3) dan yang Cengeng (Pengkritik T3). Mari kita simak uraian profesor mengenai type manusia Indonesia yang bukan termasuk jenis “Pithecanthropus erectus” atau “Homo Sapiens” itu.

1. Kelas Menengah Baru Indonesia Tegar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun