Saat ini fenomena kebakaran hutan sudah mulai lagi menghantui kita lagi. Kemarin, seorang anggota TNI yang berjuang untuk memadamkan kebakaran hutan di Sumatera menjadi korban keganasan dari kobaran api tersebut. Tahun lalu, kobaran api dari hutan yang terbakar itu menimbulkan kabut asap pekat, yang bahkan mencapai Singapaura dan Malaysia!
Fenomena kebakaran hutan ini seperti acara ritual tahunan yang sudah berlangsung belasan tahun tanpa ada solusi penyelesaiannya. Penyebabnya sederhana, ada orang yang membakar hutan pada musim panas! Selain membakar hutan, ada juga pihak perkebunan yang membakar tanaman tua (replanting) agar bisa menanam tanaman baru (kelapa sawit)
Sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat yang bermukim di dekat hutan terbiasa membuka areal hutan untuk dibuat menjadi perladangan baru. Mereka kemudian menumbang pohon, dan mencetak papan untuk kebutuhan pembuatan rumah. Setelah itu mereka kemudian membakar kawasan itu, lalu menjadikannya areal perladangan.
Akan tetapi alasan utama pembukaan lahan tersebut adalah karena adanya pertambahan anggota keluarga. Selain areal hutan yang dibuka hanya sedikit (sesuai dengan kebutuhan) pembukaan areal itu juga mungkin dilakukan hanya setiap sepuluh tahun sekali!
Akan tetapi sejak tanaman sawit mulai ditanam masyarakat biasa sejak sekitar 35 tahun yang lalu, pembukaan areal hutan mejadi sangat tidak terkendali!
***
Minyak Kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya kemudian menjadi primadona bagi Indonesia. Permintaan dalam negeri maupun ekspor tetap meninggi dan ada jutaan Tenaga kerja yang bergantung kepada komoditi ini.
Dari rakyat jelata, Perusahaan Perkebunan lokal hingga korporasi mancanegara tergiur akan aroma kelapa sawit ini. Ahirnya jutaan hektar hutanpun disulap menjadi kebun kelapa sawit.
Kalau dulu perambah hutan hanya membuka hutan seluas 1.000 m2 untuk tanaman padi gogo (padi darat) tapi kini, para perambah hutan itu membuka hutan secara “berjamaah” dengan mesin “chainsaw” Dalam sekejab mereka melahap puluhan hektar hutan seperti “hama wereng” yang melibas sepetak sawah yang tampak menguning...
Kini para perambah ini sudah “di-ijon” Sebelum mereka naik kehutan, mereka sudah dibekali “down-payment” atau uang belanja oleh “pengepul”
Pengepul ini biasanya adalah Orang kaya/kuat di desa dekat hutan tersebut. Bahkan terkadang Pengepul juga adalah kepala desa sendiri!
Kemampuan taktis para perambah ini sangat mengagumkan, mungkin melebihi para gerilyawan teroris Santoso Poso! Para perambah ini hanya dibekali beras, garam, gula, minyak sayur, kopi dan ikan asin plus tenda plastik untuk membabat hutan selama dua bulan. Curah hujan yang tinggi disertai badai petir dan angin kencang yang menusuk tulang, tidak menyurutkan nyali mereka untuk membabat hutan!
Jangan tanya ular, babi hutan, lintah, pacat, kala jengking atau mahluk berbahaya lainnya. Para perambah itu bukannya takut, malah berbalik memangsa mereka!
Setelah mereka selesai membabat dan membakar, mereka kemudian meninggalkan lahan tersebut begitu saja. Bukan hanya floranya saja yang habis, tetapi fauna yang ada diareal tersebut bisa dipastikan akan gosong juga!
Tiga bulan kemudian, “Pengepul” itu membuat kavling-kavling seluas 2 Ha untuk dijual ke masyarakat dengan dibekali “surat keterangan” dari kepala desa. Pembeli biasanya adalah warga desa yang bukan petani atau warga pinggiran kota yang lalu kemudian menitipkan lahan tersebut untuk ditanam kelapa sawit.
Ketika kavling habis terjual, Pengepul kemudian memulai ekspansi areal hutan baru. Perambah yang sudah kehabisan dana akibat berfoya-foya, kemudian dibekali DP untuk memulai aksi baru ditengah hutan. “Perambah veteran” biasanya bertugas menanam dan memelihara sawit yang ditanam pada areal bekas hutan tersebut. Mereka biasanya akan bertugas memelihara sawit itu sampai berpindah tangan kepada pemilik yang baru.
Butuh kesabaran dan perjuangan untuk merawat tanaman sawit muda itu ditengah hutan! Babi hutan, landak, tikus hutan dan bahkan mungkin gajah adalah hama utama yang dapat membinasakan tanaman sawit muda itu. Ketika tanaman sawit itu mulai berbuah, nilainya kemudian sudah berlipat beberapa kali!
Kalau dulu orang masih mau menanam cengkeh, coklat maupun karet. Akan tetapi kini sawit adalah primadona karena tanaman tersebut tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengurusnya. Tanaman sawit memang cocok bagi petani pemalas! Panen dua kali sebulan. Pemupukan bisa dua kali setahun! Selain ketika Panen dan dipupuk, tanaman biasanya dibiarkan saja “mengurus dirinya sendiri!”
Itulah sebabnya tanaman sawit menjadi primadona masyarakat. Sebenarnya kini harga cengkeh, coklat dan beberapa komoditi pertanian lainnya sangat menjanjikan melebihi harga sawit. Tetapi ya itu tadi, kemudahan pemeliharaan tanaman sawit menjadi prioritas utama.
Dibeberapa tempat kebanyakan petani melihat sawitnya hanya ketika hendak memanen saja, karena banyak juga kebun sawit masyarakat yang bahkan tidak pernah dipupuk!
Di Perkebunan swasta yang bagus, operational cost tanaman berkisar 25%-30% dari harga penjualan TBS (Tandan Buah Segar) sedangkan pada sebagian sawit masyarakat cost tersebut bisa mencapai 70% yang diakibatkan oleh tingginya biaya panen dan biaya transport sawit tersebut ke pabrik!
Itulah sebabnya Perkebunan sawit besar tidak akan mau menanam sawit pada lahan mereka yang topografinya kurang baik, karena operational costnya akan tinggi. Sementara bagi masyarakat, mereka akan menanam sawit disetiap lahan yang kosong, walaupun itu digunung!
***
Koin selalu mempunyai dua sisi. Perkebunan kelapa sawit ini memang mendatangkan berkah bagi masyarakat dan negara. Tetapi disatu sisi lain, pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit ini juga mendatangkan bencana dan malapetaka. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, sebagian besar diakibatkan oleh pembukaan lahan atau replanting perkebunan kelapa sawit. Selain mengakibatkan korban jiwa dan bencana asap, kebakaran ini secara ekonomi juga mengakibatkan kerugian milyaran rupiah setiap tahunnya.
Ketika hutan pegunungan kemudian ditanami masyarakat dengan kelapa sawit, maka kita hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menuai longsor dan banjir bandang. Apalagi dengan teknik pembukaan hutan yang sederhana, “Tumbang, cincang kemudian bakar” Lalu bibit sawit kemudian ditanam tanpa tanaman penutup tanah. Akibatnya lapisan tanah akan tergerus ketika hujan, dan semakin lama semakin tergerus.
Delapan tahun kemudian pelepah pohon kelapa sawit tersebut sudah saling menutup rapat diatas. Akan tetapi dipermukaan, tanah hanya ditutupi oleh sedikit lalang atau pakis-pakisan. Ketika terjadi hujan deras yang berkepanjangan, maka permukaan tanah yang sudah jenuh itu, tidak akan mampu lagi untuk menahan tekanan air. Ahirnya tinggal menunggu waktu untuk “memanen” bencana bagi penduduk yang bermukim dibawah!
Ahirnya, Kebijakan Moratorium Kebun Kelapa sawit ini terasa pas bagi kita untuk merenung dan mencari solusi terbaik untuk mengatasi semua persoalan ini. Mengejar produksi tidak harus dengan menambah lahan. Pemilihan bibit unggul, pemupukan yang tepat dan pemeliharaan tanaman yang berkesinambungan akan meningkatkan produktifitas buah bahkan sampai dua kali lipat!
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H