Perokok akan tetap merokok sekalipun harga rokok tersebut dinaikkan. Mungkin jumlah rokok yang dihisap akan berkurang, akan tetapi mereka akan tetap merokok! Di Thailand, pengendalian rokok yang super ketat ternyata hanya sanggup menurunkan 1% jumlah perokok pertahun.
Pada bulan Ramadan, seharusnya penjualan rokok akan anjlok 50% apalagi selama Ramadan, tempat-tempat hiburan semuanya tutup, padahal justru ditempat hiburanlah orang lebih banyak merokok. Akan tetapi ternyata konsumsi rokok selama Ramadan tidak terlalu menurun secara signifikan. Artinya, banyak perokok yang tidak berpuasa, atau perokok lebih meningkatkan konsumsi rokoknya ketika tidak berpuasa!
Kalau harga rokok terlalu tinggi, maka orang akan mencari alternatif/jalan pintas (Ini memang ciri-ciri khas rakyat kita) Maka kemudian akan beredar rokok tanpa cukai dimasyarakat.
Rokok ini tidak akan mungkin dijual di supermarket atau warung, tetapi akan dijual secara on-line/pesanan atau lewat pedagang asongan!
Lalu kemudian akan muncul rokok “skala home industri” dengan atau tanpa merk! Rokok ini jauh lebih berbahaya karena tidak jelas tembakaunya, proses pembuatannya, kadar TAR-nya maupun Nikotinnya! Selain tidak membayar pajak dan cukai, rokok ini jelas sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Akan tetapi bagi masyarakat kelas bawah tentu saja tidak ada pilihan lain.
Sampai 35 tahun yang lalu masih ditemukan orang yang memungut puntung rokok dijalanan, untuk diolah kembali menjadi rokok yang baru. Saya bergidik membayangkan kalau puntung rokok itu bekas dari orang yang berpenyakit menular, setelah diproses, lalu dibungkus dengan kertas bungkus rokok yang mengandung zat kimia berbahaya, lalu dijual secara “ketengan” diwarung, lalu dikonsumsi anak sekolahan berkantung pas-pasan...
Merokok itu memang “seperti kenikmatan syahwat,” merupakan hak azasi manusia dewasa yang tak boleh dirampas demi peri keadilan dan peri kemanusiaan, kecuali UU mengharamkan rokok untuk dikonsumsi! Jadi memang kalau untuk kesehatan bangsa, sekalian saja merokok itu dianggap ilegal! Jadi produk rokok lokal seluruhnya diekspor! Atau setidaknya untuk anak usia 18 tahun merokok adalah ilegal!
***
Tetapi saya ingin melihat dari sisi yang lain. Saya yakin hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) benar-benar murni bukan untuk kepentingan asing, tetapi untuk kepentingan pemerintah! Hasil studi dengan wacana harga rokok Rp 50.000/bks merupakan strategi pancingan untuk melihat reaksi masyarakat, untuk menentukan “Ambang batas maksimum”harga rokok yang masih bisa ditolerir masyarakat, tanpa mengurangi konsumsi rokok!
Jadi disini ada dua kepentingan yang berjalan paralel. Bagi FKM-UI untuk menyadarkan masyarakat akan fenomena tembakau. Bagi pemerintah, kepentingan utama dari wacana ini adalah untuk menaikkan perolehan cukai tembakau, tanpa mengurangi kepentingan industri rokok dan juga tidak terlalu memberatkan kepentingan para penikmat rokok!
Ketika kelak harga rokok naik, sedangkan kontribusi pemerintah untuk kampanye dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat tidak naik signifikan, maka kepentingan diatas tidak lagi paralel, melainkan akan mulai bersinggungan!