Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Blunder Kenaikan Harga Rokok

24 Agustus 2016   19:55 Diperbarui: 24 Agustus 2016   20:00 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : blora-online.blogspot.com

Kuli itu segera merebahkan badannya yang penat setelah memanggul puluhanan karung beras dari truk menuju gudang. Setelah meneguk minuman es teh manis dari kantung plastik kecil transparan itu, dia lalu menyalakan sigaret kretek ketengan dari sakunya. Sambil sesekali memejamkan mata, kuli itu  menikmati setiap tarikan dari sigaret itu seperti tarikan mesin V-6 Mercy SLK 350 kupe yang melibas tikungan tajam itu... 

Entah darimana asal muasalnya, berhembus isu yang mengatakan bahwa Pemerintah akan menaikkan harga rokok menjadi rata-rata Rp 50.000/bungkus. Gayung bersambut, semua masyarakat lalu membahas isu ini. Akan tetapi lebih banyak komentar dari warga Non-perokok (Bukan penikmat rokok) daripada warga perokok. Agaknya para penikmat rokok lebih memilih bersikap pasrah dalam menghadapi isu kenaikan harga rokok ini.

Isu ini berhembus berbarengan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang mengemukakan keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok. Menurut ketua DPR, Ade Komaruddin kenaikan harga rokok ini juga akan membantu APBN melalui pemasukan cukai tembakau. Selain itu kenaikan harga rokok ini diharapkan akan mengurangi perilaku konsumtif masyarakat terhadap rokok.

Sudah terlalu banyak tulisan yang membahas dampak buruk dari rokok terhadap kesehatan. Tulisan ini juga tidak ingin membahas hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, nasib petani tembakau, atau nasib karyawan pabrik rokok. Akan tetapi tulisan ini dibuat untuk mengulas sisi lain yang jarang diperhatikan oleh publik.

***

Tidak ada asap tanpa api! Tidak ada yang tiba-tiba hadir dengan sendirinya tanpa suatu rekayasa untuk dihadirkan. Begitu jugalah akan wacana kenaikan harga rokok ini!

Ada yang mengatakan, riset yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini “ditunggangi” pihak barat yang ingin membuat gaduh dan menyusupkan kepentingan terselubung mereka didalamnya.

Pernyataan ini adalah pernyataan khas “jurkam pilkada” atau penulis anonim di medsos yang berbau rasis, fitnah dan pengumbar kegaduhan! Walaupun riset tersebut pendanaannya dibantu oleh Bloomberg yang sering membiayai riset lembaga anti tembakau diseluruh dunia, bisa dipastikan dana tersebut adalah murni hibah untuk penelitian, bukan untuk maksut lain.

Kita memang hidup pada sebuah zaman yang diliputi kecurigaan. Selalu ada pertanyaan siapa dibalik sebuah kegiatan, siapa yang mendanai kegiatan tersebut, apa motifnya, siapa yang akan mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut, berapa bayarannya, kenapa harus begini dan bukan begitu? Dan pertanyaan-pertanyaan curiga lainnya.

***

Benarkah dengan menaikkan harga rokok akan mengurangi secara drastis jumlah perokok?

Perokok akan tetap merokok sekalipun harga rokok tersebut dinaikkan. Mungkin jumlah rokok yang dihisap akan berkurang, akan tetapi mereka akan tetap merokok! Di Thailand,  pengendalian rokok yang super ketat ternyata hanya sanggup menurunkan 1% jumlah perokok pertahun.

Pada bulan Ramadan, seharusnya penjualan rokok akan anjlok 50% apalagi selama Ramadan, tempat-tempat hiburan semuanya tutup, padahal justru ditempat hiburanlah orang lebih banyak merokok. Akan tetapi ternyata konsumsi rokok selama Ramadan tidak terlalu menurun secara signifikan. Artinya, banyak perokok yang tidak berpuasa, atau perokok lebih meningkatkan konsumsi rokoknya ketika tidak berpuasa!

Kalau harga rokok terlalu tinggi, maka orang akan mencari alternatif/jalan pintas (Ini memang ciri-ciri khas rakyat kita) Maka kemudian akan beredar rokok tanpa cukai dimasyarakat.

Rokok ini tidak akan mungkin dijual di supermarket atau warung, tetapi akan dijual secara on-line/pesanan atau lewat pedagang asongan!

Lalu kemudian akan muncul rokok “skala home industri” dengan atau tanpa merk! Rokok ini jauh lebih berbahaya karena tidak jelas tembakaunya, proses pembuatannya, kadar TAR-nya maupun Nikotinnya! Selain tidak membayar pajak dan cukai, rokok ini jelas sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Akan tetapi bagi masyarakat kelas bawah tentu saja tidak ada pilihan lain.

Sampai 35 tahun yang lalu masih ditemukan orang yang memungut puntung rokok dijalanan, untuk diolah kembali menjadi rokok yang baru. Saya bergidik membayangkan kalau puntung rokok itu bekas dari orang yang berpenyakit menular, setelah diproses, lalu dibungkus dengan kertas bungkus rokok yang mengandung zat kimia berbahaya, lalu dijual secara “ketengan” diwarung, lalu dikonsumsi anak sekolahan berkantung pas-pasan...

Merokok itu memang “seperti kenikmatan syahwat,” merupakan hak azasi manusia dewasa yang tak boleh dirampas demi peri keadilan dan peri kemanusiaan, kecuali UU mengharamkan rokok untuk dikonsumsi! Jadi memang kalau untuk kesehatan bangsa, sekalian saja merokok itu dianggap ilegal! Jadi produk rokok lokal seluruhnya diekspor! Atau setidaknya untuk anak usia 18 tahun merokok adalah ilegal!

***

Tetapi saya ingin melihat dari sisi yang lain. Saya yakin hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) benar-benar murni bukan untuk kepentingan asing, tetapi untuk kepentingan pemerintah! Hasil studi dengan wacana harga rokok Rp 50.000/bks merupakan strategi pancingan untuk melihat reaksi masyarakat, untuk menentukan “Ambang batas maksimum”harga rokok yang masih bisa ditolerir masyarakat, tanpa mengurangi konsumsi rokok!

Jadi disini ada dua kepentingan yang berjalan paralel. Bagi FKM-UI untuk menyadarkan masyarakat akan fenomena tembakau. Bagi pemerintah, kepentingan utama dari wacana ini adalah untuk menaikkan perolehan cukai tembakau, tanpa mengurangi kepentingan industri rokok dan juga tidak terlalu memberatkan kepentingan para penikmat rokok!

Ketika kelak harga rokok naik, sedangkan kontribusi pemerintah untuk kampanye dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat tidak naik signifikan, maka kepentingan diatas tidak lagi paralel, melainkan akan mulai bersinggungan!

Jadi kira-kira berapa nanti harga rokok yang pas?

Kelihatannya, rokok yang paling murah akan menjadi Rp 25.000 (ukuran 20 batang/pack) sedangkan rokok putih “brand asing” akan menjadi Rp 35.000

Diluar harga tersebut, tidak akan rasional karena pendapatan dari cukai tembakau pasti akan menurun secara drastis!

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun