Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengurai Konflik SARA di Indonesia Masalah Impotensi dari Gedung KPK hingga ke Tanjung Balai

1 Agustus 2016   19:18 Diperbarui: 1 Agustus 2016   19:27 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri ini seperti tidak ada habis-habisnya dilanda tragedi berbau SARA. Dari antara semua konflik tersebut, yang paling miris tentunya kalau melibatkan unsur Agama. Isu Agama adalah isu yang sangat sensitif dan rawan diprovokasi. Itulah sebabnya banyak orang-orang pintar bahkan tokoh agama sekalipun cenderung untuk menghindari pembahasan tentang isu konflik yang melibatkan agama ini karena takut terkena dampak buruknya.

Tragedi pembakaran Vihara dan Klenteng di Tanjung Balai kemarin merupakan “Refleksi dari Eskalasi kebencian sosial” yang terjadi dimasyarakat yang umum terjadi diseluruh Indonesia, dan Tanjung Balai khususnya. Kebencian masyarakat marjinal yang kehidupannya lebih miskin itu ditujukan kepada “Orang-orang kaya” yang nasibnya menurut mereka lebih baik.

Baiklah kita mengurai segala carut marut ini dengan “Langgam Melayu” karena apa yang tersirat melebihi daripada apa yang tersurat. Peribahasa “Muka buruk cermin dibelah” adalah pendekatan yang pas dipakai dalam penguraian kasus sederhana ini. Kasusnya sangat sederhana, tapi kalau penyelesaiannya tidak tepat, maka akan fatal akibatnya.

Kita akan mulai dengan kasus Tanjung Balai. Kota Tanjung Balai adalah sebuah kota kecil yang padat penduduk. Sebagian besar perekonomian ditopang oleh bisnis berbasis kelautan. Mulai dari ikan, kapal, ekspor-impor, dan tentu saja penyeludupan. Sejak jaman PRRI Tanjung Balai memang adalah basis penyeludupan di Sumatera Utara, yang tentu saja pasti melibatkan oknum aparat pemangku kepentingan.

Dalam strata kehidupan sosial masyarakat yang penuh kemunafikan, tentulah lebih nyaman berbisnis ilegal dengan kaum Tionghoa, karena mereka itu “mulutnya” lebih bisa dipercaya.

Contoh ilustrasinya kita ambil dalam kasus penyeludupan bawang putih yang melibatkan dua orang penyeludup lokal. Yang satu “pribumi Lokal” yang bernama B, satunya lagi “Tionghoa lokal” bernama A.

Dalam klausal MOU yang telah “disiratkan” kedua belah pihak berdasarkan azas saling percaya adalah Rp 1.000 untuk setiap karung, disetor kepada aparat lapangan bernama C, dengan ketentuan RP 500 untuk C dan RP 500 untuk atasannya. B membawa 10 karung lalu membayar kepada C Rp 10.000

Akan tetapi ketika dikedai kopi atau acara “wirid” B suka mengatakan secara berkelakar bahwa dia membayar kepada C Rp 20.000. Hal ini tentu saja sangat meresahkan C, karena kalau sampai terdengar atasannya, dia bisa dipecat karena dituduh memeras. Selain itu C juga merasa malu karena istrinya dan istri B adalah teman satu “pengajian” Ahirnya MOU dibatalkannya secara  sepihak!

A yang ramah itu selain pintar “mencari muka” suka juga memberi parcel kepada C dan atasannya. A lalu membawa 20 karung, kemudian melaporkan 10 karung ke atasan C sambil memberikan oleh-oleh biskuit dari Malaka. A lalu membayar Rp 14.000 kepada C. Setelah “memegang kalkulator”, C mendapat hasil bersih Rp 5.000 + Rp 4.000 = Rp 9.000. Boss mendapat Rp 5.000 + biskuit semuanya dari “10 karung” Semuanya happy dan bisnis berlanjut.

Apakah semua orang Tionghoa penyeludup dan sukses? Penyeludup Tionghoa yang “mulutnya ember” pasti ditendang, lalu kemudian ia akan menjadi agen togel atau tukang becak. Penyeludup kakap itu malah orang-orang pribumi yang “pemalu dan mulutnya selalu terkatup rapat” Ahirnya dalam segala hal ketika usaha orang pribumi tersendat, mereka mengatakan kepada karyawannya atau orang lain, itu gara-gara orang Tionghoa. Lama-lama orang impoten juga mengatakan, mereka impoten gara-gara orang Tionghoa!

Sebenarnya Sukses itu bukan ditentukan oleh ras, walaupun kultur dari ras itu berpengaruh terhadap etos kerja. Ada banyak orang Tionghoa yang menjual mie pangsit atau bakmi sebagai pekerjaannya. Beberapa diantara mereka mampu menyekolahkan anaknya ke UK atau Kanada. Bisa dipastikan orang pribumi tidak akan bercita-cita menjual bakmi, walaupun penghasilannya melebihi gaji pimpinan cabang bank swasta, karena mereka malu “memakai celana pendek!”

Banyak anak pribumi yang tidak mau membantu orangtuanya berjualan di pasar karena malu dilihat temannya. Tetapi tidak bagi anak Tionghoa. Mereka selalu membantu orangtuanya sepulang sekolah atau ketika libur sekolah. Jadi kesuksesan bukan ditentukan oleh warna kulit, tetapi lebih kepada Filosofi cara untuk meraih sukses itu.

Ahirnya seluruh ketidak mampuan itu “ditumpahkan” kepada orang-orang mampu. Akan tetapi tentu saja tidak semua orang mampu “sudi” ditimpakan malapetaka oleh orang-orang impoten itu. Mengganggu orang mampu yang seagama dan sama warna kulitnya itu akan seperti menabur angin yang akan menuai badai bencana. Ahirnya dipilihlah objek yang “rasional” dengan “efek samping” yang rendah.

Saya jadi teringat ketika kanak-kanak. Dulu ketika main layangan ditanah lapang, orang dewasa suka memprovokasi anak kecil supaya berantem. Misalnya ada dua anak kecil yang bernama Anto dan Budi. Anto diprovokasi dengan mengatakan, bahwa Budi mengatakan Anto jelek dan sebaliknya. Biasanya kedua anak itu hanya nyengir saja.

Lalu Anto diprovokasi kembali dengan mengatakan, bahwa Budi mengatakan Bapak dan Agama Anto jelek dan sebaliknya. Hasilnya bisa ditebak. Pertempuran seru berdarah-darah ahirnya terjadi diiringi tawa dan sorak sorai “Penonton Dewasa” tersebut. Kaum impoten bodoh yang membakar Vihara dan Klenteng di Tanjung Balai itu adalah representatif dari anak-anak kecil yang berantem itu. Kalau mereka tidak impoten, tentu saja tidak akan mau diprovokasi untuk diperalat orang lain!

***

Lain lubuk lain ikannya. Lain padang lain belalangnya. Kalau di Tanjung Balai kaum impotennya adalah rakyat jelata bodoh, maka yang menyerbu gedung KPK adalah kaum impoten berpendidikan. Muda, berpendidikan tapi impoten! Secara inteligensia seharusnya mereka itu jauh dari hal-hal bodoh. Akan tetapi karena nalarnya impoten, maka mereka bangga didepan televisi merusak gedung “Simbol supremasi rakyat!”

Tidak ada satu alasan apapun didunia ini yang layak diterima untuk membenarkan satu perbuatan vandalisme dan anarkis, apalagi terhadap aset/kepentingan rakyat!

Bagaimana penanganan atas masalah-masalah kekerasan ini selama ini?

Seharusnya kita mengevaluasi kembali cara-cara kita menangani masalah ini. Tindakan aparat keamanan biasanya adalah mencari dan menangkap provokator. Lalu tokoh-tokoh lintas agama dan tokoh masyarakat akan bertemu, berbicara bla-bla, lalu semuanya diharapkan dengan doa akan mereda sendiri. Ini adalah penyelesaian yang impoten juga, padahal kita punya undang-undang untuk mengatur kasus-kasus seperti ini.

Kita harus bersikap tegas dan konsisten agar peristiwa seperti ini tidak terulang lagi, dengan mengambil sikap, “Setiap upaya maupun perbuatan vandalisme dan anarkis, apalagi terhadap aset/kepentingan rakyat adalah perbuatan subversif. Jadi sebaiknya Hukum subversif diaktifkan kembali, khusus BAB I. Pasal 1. Ayat (1) 3 “Barangsiapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas”

Hukuman atas perbuatan tersebut diatas dapat dilihat pada, Bab IV. Ancaman Pidana. Pasal 13.(1) “Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angaka 1, 2, 3, 4 dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun”

Jadi semuanya jelas dan terang benderang. Bukan hanya provokator tapi juga pelaku tidak bisa lagi bersembunyi dibalik “Aksi Massa”, karena dapat dihukum maksimal, yaitu hukuman mati.

Kalau sudah begini, walaupun dalam keadaan mabuk, orang akan berpikir dua kali untuk melakukan aksi vandalisme dan anarkis!

Ada juga solusi jitu lainnya. Bagi setiap orang yang turut serta melakukan pengrusakan rumah ibadah, maka orang yang bersangkutan tersebut akan dicabut status keagamaannya baik didunia maupun di aherat! Dia tidak boleh diterima oleh agama manapun, termasuk agama yang rumah ibadahnya itu dirusak olehnya. Pada kolom agama di KTP nya akan tertulis KAFIR DUNIA AHERAT sehingga kalau dia mati, maka dia akan dikuburkan seperti binatang!

Solusi jitu lainnya adalah, perusak rumah ibadah itu langsung saja di “PKI” kan ke pulau Buru. Atau dicabut saja status kewarganegaraannya lalu diusir keluar Indonesia. Ahirnya di Indonesia yang tinggal hanya orang baik-baik saja sehingga nyaman dan “adem” untuk ditinggali bersama.

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun