Kini lebih banyak orang naik sepeda dikota daripada di desa. Di desa orang terkadang malu naik sepeda. Kini banyak orang di desa yang memiliki lima sepeda motor dirumahnya, sesuai dengan jumlah anggota keluarga! Di desa banyak juga mobil menjadi pajangan dirumah, dan tidak pernah dipakai, karena sipemilik tidak bisa menyetir!
Kini biaya hidup di desa membengkak, terkadang melebihi kehidupan orang dikota. produtifitas kerja juga semakin berkurang, karena semakin banyak kesibukan dan tidur selalu lebih larut. Anak kota yang “gagal menjadi orang” itu adalah sumber malapetaka terbesar. Mereka sering membohongi orangtuanya perihal sekolah atau “Pekerjaan mereka” di kota, dan selalu menuntut duit dari desa. Ahirnya sedikit demi sedikit tanah pusaka pun digadaikan atau dijual, sampai ahirnya tiada lagi yang bersisa.
Biasanya pembeli tanah tersebut adalah saudara, atau orang kota yang mengijinkan petani tersebut untuk mengurus dan tinggal ditanah/sawah tersebut. Dengan semakin maraknya pembangunan pabrik atau proyek yang membutuhkan tanah, di desa banyak para petani yang menjual tanah mereka tersebut. Ketika mereka menerima uang cash yang banyak, mereka menjadi “gagap dan panik” Banyak yang hidup berfoya-foya, kawin lagi dan “nyaleg” anggota dewan atau bupati! Tapi pada ahirnya mereka menjadi tersungkur juga....
30 tahun yang lalu, kalau kita memakai “index aset” untuk mengukur kehidupan orang desa, maka mereka kita sebut orang kaya. Tapi kalau kita memakai “index pengeluaran” pastilah mereka itu disebut orang-orang melarat! Kini kalau “index aset” dipakai untuk mengukur, jelaslah mereka itu disebut melarat karena mereka hanya buruh tani. Tapi kalau “index pengeluaran” dipakai, mereka itu disebut kaum menengah, karena banyak pengeluaran mereka masuk kategori “kebutuhan tersier” seperti membeli pulsa, paket data, gadget, knalpot racing motor, membayar cicilan tv kabel dan sebagainya.
Jaman memang merubah semuanya. Dulu perbincangan di kedai kopi adalah mengenai pupuk, wirid, atau gotong royong. Kini dikedai kopi mereka membahas politik, hukum, Fadli zon, SBY, reshuffle kabinet maupun Abu Sayyaf. Dulu petani itu adalah orang kaya yang lugu, banyak senyum, ramah dan hormat kepada semua orang. Kini mereka telah berubah menjadi miskin, memandang penuh curiga kepada orang asing, dan mecoba berharap “sesuatu” dari orang lain. Pada pintu rumahnya terlihat “siluet” tulisan, “Bersedia menerima serangan fajar, ada uang ada suara...”
Reinhard Freddy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI