Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani Masa Kini, Nasibmulah Pak

5 Juli 2016   19:24 Diperbarui: 5 Juli 2016   20:24 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : www.bangsaonline.com

Kini lebih banyak orang naik sepeda dikota daripada di desa. Di desa orang terkadang malu naik sepeda. Kini banyak orang di desa yang memiliki lima sepeda motor dirumahnya, sesuai dengan jumlah anggota keluarga! Di desa banyak juga mobil menjadi pajangan dirumah, dan tidak pernah dipakai, karena sipemilik tidak bisa menyetir!

Kini biaya hidup di desa membengkak, terkadang melebihi kehidupan orang dikota.  produtifitas kerja juga semakin berkurang, karena semakin banyak kesibukan dan tidur selalu lebih larut. Anak kota yang “gagal menjadi orang” itu adalah sumber malapetaka terbesar. Mereka sering membohongi orangtuanya perihal sekolah atau “Pekerjaan mereka” di kota, dan selalu menuntut duit dari desa. Ahirnya sedikit demi sedikit tanah pusaka pun digadaikan atau dijual, sampai ahirnya tiada lagi yang bersisa.

Biasanya pembeli tanah tersebut adalah saudara, atau orang kota yang mengijinkan petani tersebut untuk mengurus dan tinggal ditanah/sawah tersebut. Dengan semakin maraknya pembangunan pabrik atau proyek yang membutuhkan tanah, di desa banyak para petani yang menjual tanah mereka tersebut. Ketika mereka menerima uang cash yang banyak, mereka menjadi “gagap dan panik” Banyak yang hidup berfoya-foya, kawin lagi dan “nyaleg” anggota dewan atau bupati! Tapi pada ahirnya mereka menjadi tersungkur juga....

30 tahun yang lalu, kalau kita memakai “index aset” untuk mengukur kehidupan orang desa, maka mereka kita sebut orang kaya. Tapi kalau kita memakai “index pengeluaran” pastilah mereka itu disebut orang-orang melarat! Kini kalau “index aset” dipakai untuk mengukur, jelaslah mereka itu disebut melarat karena mereka hanya buruh tani. Tapi kalau  “index pengeluaran” dipakai, mereka itu disebut kaum menengah, karena banyak pengeluaran mereka masuk kategori “kebutuhan tersier” seperti membeli pulsa, paket data, gadget, knalpot racing motor, membayar cicilan tv kabel dan sebagainya.

Jaman memang merubah semuanya. Dulu perbincangan di kedai kopi adalah mengenai pupuk, wirid, atau gotong royong. Kini dikedai kopi mereka membahas politik, hukum, Fadli zon, SBY, reshuffle kabinet maupun Abu Sayyaf.  Dulu petani itu adalah orang kaya yang lugu, banyak senyum, ramah dan hormat kepada semua orang. Kini mereka telah berubah menjadi miskin, memandang penuh curiga kepada orang asing, dan mecoba berharap “sesuatu” dari orang lain. Pada pintu rumahnya terlihat “siluet” tulisan, “Bersedia menerima serangan fajar, ada uang ada suara...”

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun