Berita tertangkapnya pasangan pengedar vaksin palsu membuat publik menjadi geger. Apalagi peredaran vaksin tersebut menurut tersangka sudah dimulai sejak tahun 2003. Menurut polisi jumlah tersangka akan semakin bertambah. Wilayah peredaran vaksin palsu tersebut ternyata telah mencakup beberapa wilayah diseluruh Indonesia. Meski demikian, Kementrian Kesehatan meminta masyarakat tidak terlalu takut dengan keamanan vaksin
Melalui akun twitter resmi @Kemenkes RI, Kemenkes menyampaikan alasan mengapa orangtua tidak perlu khawatir, karena :
1. Tanpa adanyapun vaksin palsu, imunisasi DPT, Polio dan Campak ini memang harus diulang lagi (booster). Jadi bagi yang khawatir dulu mendapat vaksin palsu, ikut saja imunisasi ini lagi di Posyandu atau Puskesmas.
2. Diduga peredaran vaksin palsu tidak lebih dari satu persen di wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ini relatif kecil secara jumlah vaksin yang beredar dan wilayah sebarannya.
3. Dikabarkan isi vaksin palsu itu campuran antara cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik) dan setiap imunisasi dosisnya 0,5 cc. Dilihat dari isi dan jumlah dosisnya, vaksin palsu ini dampaknya relatif tidak membahayakan.
4. Karena vaksin palsu dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kemungkinan akan menimbulkan infeksi. Gejala infeksi ini bisa dilihat tidak lama setelah diimunisasikan. Jadi kalau sudah sekian lama tidak mengalami gejala infeksi setelah imunisasi bisa dipastikan aman. Bisa jadi anak Anda bukan diimunisasi dengan vaksin palsu, tetapi memang dengan vaksin asli.
Pernyataan Kemenkes ini sangat menggelikan, dan seperti menganggap masyarakat itu bodoh dan tidak begitu penting! Lebih baik kita segera mencari tahu sendiri seluk beluk vaksin palsu ini. Tidak usah kita bertanya kepada Kemenkes, karena mungkin mereka juga tidak tahu apa yang terjadi atau kemungkinan mereka hanya pura-pura bingung saja!
Peredaran vaksin itu hanya berada di Puskesmas, Rumah sakit, Klinik, Praktek dokter anak dan Bidan. Diluar itu tidak ada tempat peredaran vaksin. Mari kita teliti ditempat-tempat tersebut diatas. Dari kesemua tempat tersebut, Puskesmas adalah tempat yang paling aman dari serbuan vaksin palsu, karena sumber vaksin hanya berasal dari dinas kesehatan.
Dulu seingat saya ketika melihat kulkas penyimpanan vaksin pada puskesmas yang jauh dari kota, kulkas tersebut dilengkapi dengan tenaga dari “kerosen” untuk mengantisipasi sekiranya daya listrik mati. Jadi suhu tempat penyimpanan vaksin benar-benar terjaga. Kulkas itu merk ternama dan diimpor dari Amerika.
Saya jadi teringat dengan kulkas ditempat praktek seorang dokter anak. Sekiranya listrik sering padam, bagaimana dengan kondisi vaksin didalam kulkas “biasa” tersebut? Vaksin sangat peka terhadap perubahan temperatur.
Di Puskesmas dan Rumah sakit pemerintah, imunisasi adalah program dari pemerintah dan gratis! Saya tidak tahu persis dengan Rumah sakit swasta, apakah vaksin disuply pemerintah secara gratis atau tidak. Tetapi di Rumah sakit swasta, Klinik, Praktek dokter anak dan Bidan orang tetap harus membayar kalau imunisasi! Jadi kalau ada vaksin palsu di puskesmas dan di Rumah sakit pemerintah, pemalsunya pasti di internal dinas kesehatan! Dua puluh tahun yang lalu hampir tidak ditemukan vaksin palsu di puskesmas dan Rs. Pemerintah.
Akan tetapi sejak jaman otonomi daerah, dinkes di daerah telah berubah menjadi “pasar”
Kepala Dinas ada bandrolnya. Kini Kapus (Kepala Puskesmas) juga ada bandrolnya. Penempatan Kapus pun diatur langsung oleh Bupati, bukan oleh Kadis Kesehatan! Korupsi dan Mark-up gila-gilaan hanya ada pada proyek Altkes dan Pembangunan rumah sakit daerah. Tidak percaya? Tanya saja pada KPK! Inilah akibat dari mahalnya biaya pilkada di daerah!
Kini tidak ada lagi yang berani menjamin keaslian vaksin di puskesmas atau RSP! Buktinya kemenkes saja mengatakan, bagi yang khawatir dulu mendapat vaksin palsu, ikut saja lagi imunisasi ini di Posyandu atau Puskesmas, toh biayanya gratis... Walau bagaimanapun, keaslian vaksin itu adalah tanggung jawab dari Kemenkes dan BPOM! Mereka tidak dapat mengelak dari tanggung jawab itu!
Bagaimana dengan “vaksin yang berbayar?” yaitu vaksin yang terdapat pada Rumah sakit swasta, Klinik, Praktek dokter anak dan Bidan. Dari sejak dulu, ada paradigma yang berdear di masyarakat bahwa vaksin yang di puskesmas itu “tidak jelas” karena gratis! Mosok anak semata wayang dikasi vaksin tak jelas? Gosip itu bukan hanya dihembuskan para perawat, tetapi juga para dokter anak :-) Padahal vaksinnya sama saja! Sebagian Bidan dan Klinik kecil bahkan memperoleh vaksin dari puskesmas yang “dikutil” oleh pegawai puskesmas :-)
Tapi tak banyak yang tahu, kalau sebagian anak-anak dokter itu diimunisasi di puskesmas, bukan di praktek dokter spesialis anak, yang nota bene adalah teman sejawat mereka sendiri. Kenapa? Ya itu tadi! Karena di puskesmas vaksinnya jelas! Sebagian besar dokter memulai karirnya di puskesmas, jadi mereka tahu persis mengenai hal ini.
Ada lagi satu hal yang menggelikan. Banyak orang tua yang tidak mau anaknya diimunisasi di puskesmas karena takut anaknya akan demam. Padahal itulah tandanya imunisasi itu berfungsi dengan baik! Bahkan pada sebagian anak bisa mengakibatkan diare. Memang benar, orang tua yang dokter sekalipun tetap cemas dan tidak bisa tidur ketika anaknya di imunisasi! Kalau ada dokter yang mengatakan tidak, berarti dia seorang pembohong, atau tidak sayang anak.. :-)
Celah inilah yang banyak diisi oleh sebagian klinik dan para Bidan! Mereka menawarkan “Vaksin anti demam!” Justifikasi inilah yang terasa sulit. Kalau seorang dokter mengatakan vaksin anti demam, pastilah dia berbohong. Tapi kalau seorang perawat, dia tahu atau pura-pura tidak tahu? Vaksin anti demam inilah yang biasanya berisi cairan infus + gentamicyn. Ketika botolnya diguncang, warna vaksinnya tetap jernih seperti cairan infus. Akan tetapi peredaran vaksin jenis ini hanya ditempat terbatas saja, karena seorang dokter pasti bisa membedakan vaksin jenis ini dengan yang asli.
Bagaimana dengan “vaksin aspal” yang beredar ditempat luas? Vaksin yang asli kalau botolnya diguncang, pasti warna vaksinnya akan berubah menjadi keruh. Vaksin aspal pun pasti akan mengikuti kaidah ini. Terlalu riskan kalau vaksin aspalnya seperti vaksin anti demam yang berwarna bening. Justru vaksin aspal inilah yang paling berbahaya, karena kita tidak mengetahui komposisi kandungannya, apakah berbahaya atau tidak!
Sebagian vaksin aspal itu adalah vaksin asli yang sudah kedaluwarsa, tetapi kemudian dibuat label/kemasan baru dengan waktu expired yang lama, seolah-olah vaksin itu adalah baru dari pabriknya. Bagaimana cara kerjanya? Sumber vaksin kadaluwarsa ini adalah dari puskesmas/RSP, apotik dan pabrik farmasinya sendiri. Pemainnya adalah orang apotik atau oknum pabrik farmasi. Hal ini sering dilakukan pada obat-obatan, terutama obat-obat impor. Penyimpangan ini bahkan sudah berjalan puluhan tahun.
Itulah sebabnya kita harus berhati-hati ketika melihat harga obat ( biasanya obat-obat impor) yang sangat murah, karena kita juga hampir tidak bisa membedakan secara kasat mata. Lalu apa sebaiknya yang dilakukan pemerintah? Pemerintah sebaiknya mulai serius menangani persoalan obat-obatan. Setiap obat-obat bebaspun harus diperlakukan seperti menangani obat-obat golongan Morfin. Kini bahkan untuk membeli obat sekelas “Alprazolam” saja dengan resep, terasa agak susah padahal dulu banyak apotik yang menjual seenaknya tanpa resep.
Pengadaan obat-obatan di RSU dan Dinas kesehatan pun harus akuntabilitas. Kemenkes dan BPOM harus terus memeriksa secara acak. Pengadaan obat-obatan harus sesuai dengan prosedur. Perlu regulasi yang mewajibkan Faskes mengirim laporan prosedur dan faktur pembelian vaksin dan obat-obatan secara rutin. Jangan harus ada terjadi sesuatu dulu baru kemudian bergerak. Memang sejak otonomi daerah ini, Kadis Kesehatan lebih takut kepada Kepala Daerahnya. Sewaktu-waktu Kadis bisa dicopot. Itulah sebabnya Kadis kurang fokus kepada tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari!
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H