Indonesia tidak pernah kekurangan tempat-tempat wisata yang indah dan mempesona, Budaya dan kultur yang eksotik, Kekayaan Flora, Fauna dan iklimnya yang cerah. Akan tetapi seperti “Perawan di sarang penyamun” demikianlah geliat dunia pariwisata kita.
Geliat “Perawan” itu selalu mengundang datangnya “kumbang-kumbang penghisap madu” yang lalu kemudian “disamun” oleh para penyamun yang “bersembunyi dibalik sarung perawan” itu!
Sampai dekade lalu, masih banyak kita dengar “ratapan” ataupun makian dari wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara yang disamun di Daerah wisata. Harga makanan/minuman mendadak naik hingga tiga kali lipat dari harga ditempat lain. Kualitas dan kebersihan makanan/ minuman tidak memenuhi standard.
Biaya transport pun mendadak naik tanpa informasi yang jelas. Penyejuk ruangan yang mendadak tak sejuk lagi, dan masih banyak keluhan soal pelayanan yang tak memuaskan dan sikap yang tidak profesional dari penyedia jasa wisata. Ahirnya semuanya itu membuat citra pariwisata yang jelek bagi negara kita sendiri.
Kalau dulu, mungkin hanya di daerah Bali kita merasa homey. Saya ingat sekitar 30 tahunan yang lalu, handuk saya ketinggalan di pantai di daerah Sanur. Ketika dua hari kemudian saya datang lagi, handuk itu masih ada ditempatnya menanti saya dengan kerinduan membuncah! Handuk itu bukan sembarang handuk... Itulah yang membuat saya terkesan dengan Bali...
Kemarin saya baca kisah pak Tjiptadinata “disamun” di Labuan Bajo. Kisah ini terasa miris di jaman modern ini. Labuan Bajo dengan Komodo sebagai Salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia, tentulah merupakan Kawasan Wisata Terpadu! Hal ini mengandung makna Filosofi Tinggi. Pemerintah Daerah harus menjaga dan mengelola kawasan itu dengan baik dan benar, karena kawasan tersebut bukan hanya milik Daerah atau Indonesia saja, tetapi adalah milik Dunia!
Carut marut pengelolaan dunia pariwisata kita memang tidak pernah selesai karena semua pihak hanya membicarakan kepentingannya sendiri, tanpa pernah mau mencoba memahami jalan pikiran semua pihak. Mari kita bahas pola pikir para pemangku kepentingan dunia wisata ini.
Masyarakat di daerah wisata.
- Kebanyakan masyarakat lokal menganggap wisatawan itu adalah orang kaya. Karena itu, pastilah wisatawan itu tidak akan keberatan kalau mereka menaikkan harga kepada mereka, atau bahkan sedikit menipu atau merampoknya, karena mereka itu adalah orang kaya!
- Daerah mereka ini pastilah “surga” bagi wisatawan itu. Jadi kalau mereka sedikit dibebani, mereka pasti tidak akan keberatan karena sebanding dengan kenikmatan yang mereka peroleh.
- Para wisatawan itu pastilah orang kaya bodoh, karena mau bersusah payah mendatangi tempat yang menurut penduduk lokal biasa-biasa saja. Jadi peluang mereka besar untuk memperbodohi mereka.
- Dari aspek hukum, masyarakat lokal tidak terlalu perduli. Kalaupun ditipu, toh wisatawan itu tidak akan datang lagi, dan tetap akan datang juga wisatawan yang lain.
- Dengan fasilitas yang ala kadarnya saja, wisatawan manca negara banyak yang datang. Jadi mengapa harus repot-repot membenahi semuanya?
Pemerintah Daerah.
Sikap Pemerintah Daerah sebelas dua belas dengan pola pikir masyarakatnya. Sedikit yang membedakan adalah, mereka menarik retribusi dan membuat poster dan brosur yang tidak up to date!
Pemerintah Pusat.
Kementerian Pariwisata menganggap Wisata Daerah adalah tanggung jawab Daerah. Itu saja! Yang bisa dilakukan Kemenpar adalah membantu promosi wisata daerah ke luar negeri, Bimbingan teknis, koordinasi, sinkronisasi dan supervisi atas pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang pengembangan destinasi dan industri pariwisata.
Setelah diuraikan barulah jelas semuanya kelihatan. “Bak Jauh panggang dari api” Wajah Kemenpar dimana, wajah Pemerintah Daerah dimana, wajah masyarakat lokal yang mana! Tidak ada “link” diantara mereka, karena mereka tidak saling kenal! Kalau pak Tjiptadinata sampai disamun di sana, yah memang kita tidak usah heran lagi!
Lalu bagaimana kita mengelola kawasan wisata kita supaya manusiawi? Kalau diniatkan dengan baik, tentulah “Banyak jalan ke Roma” Tapi saya akan mencoba dengan pemikiran saya.
Kalau saya pribadi yang berbicara, pasti tidak akan ada yang perduli. Jadi saya berkhayal saja sementara menjadi Menpar, biar didengar orang-orang...
Yang pertama tentu saja Kemenpar akan memetakan seluruh kawasan wisata Nasional yang ada maupun yang potensial untuk digarap, lalu mengklasifikasikannya dalam beberapa zona Ekslusif. Labuan Bajo dengan Komodonya jelas Zona I dan harus ditangani sangat serius, karena ini aset dunia. Untuk itu dibentuk “Badan Otorita Independen” yang akan mengatur segala hajat kehidupan di Taman Nasional Komodo, dalam satu atap kebijakan!
Hajat kehidupan itu adalah, Pengembangan kawasan komersil wisata terpadu, Pusat penelitian dan pengembangan Komodo dan Peningkatan taraf hidup masyarakat lokal! Semua pihak akan diajak berpartisipasi duduk dalam Badan pengurus, termasuk dari luar negeri.
Badan pengurus Komersil, tentulah melibatkan Biro wisata nusantara dan manca negara. Saran dari jaringan hotel tentu akan didengar.
Mengajak Unesco, Organisasi satwa internasional dan Pusat kajian Flora dan Fauna Internasional, tentu akan menambah promosi, bantuan teknis dan juga arus modal masuk!
Mengedukasi masyarakat adalah wajib hukumnya. Bekerjasama dalam bentuk promosi dengan perusahaan besar agar mau memberikan bantuan teknis maupun permodalan bagi masyarakat tentulah sangat membantu. Saran dari Pemuka adat atau Tokoh masyarakat pastilah sangat berguna. Kalau semuanya bisa berjalan mulus, Pemerintah mungkin tidak perlu mengeluarkan biaya satu sen pun. “Komodo” Nilai jualnya sangat tinggi, dan bisa di “ijon!”
Kalau semuanya on the track, Mungkin jaringan Aston atau Hilton akan membangun hotel mereka disana. Mereka pasti tidak akan keberatan juga membangun jalan, listrik dan infastruktur. Mungkin mereka mau juga membangun akademi/politeknik pariwisata untuk mendukung pelayanan hotel mereka kelak. Unesco pastilah akan dengan senang hati mendidik dengan gratis penduduk lokal agar mereka dapat belajar menyayangi harta karun mereka sendiri.
Pada ahirnya hal baik cenderung berbuah baik pula. Apapun itu, ketika semua merasa “happy”, dan tak ada seorangpun yang “merasa ditinggalkan” semuanya pasti akan baik-baik saja. Persoalan selalu timbul kalau ada yang merasa diabaikan, dihianati atau dilecehkan. Kalau kita bisa duduk ngobrol satu meja, tidak akan ada yang mustahil untuk kita selesaikan!
Kalau semuanya on the track, saya akan lapor ke Istana, agar tidak usah cemas menghadapi 2019. Selama ini Pajak digenjot untuk menambal APBN. Kini ada senjata baru. Impor Dollar!
Kalau Kementerian lain teken SK, lalu pengusaha menjual rupiah untuk membeli dollar. Akibatnya dollar melambung. Kalau kemenpar teken SK, 20 juta wisman datang bawa dollar, lalu membeli rupiah, lalu semuanya happy menyambut para wisman... kalau mereka jajannya rata-rata US $ 1.000 Waduh uang yang dibelanjain banyak sekali, lebih dari 260 Trilyun rupiah...
Lalu kalau Beliau bertanya, apa masih mau ikutan tahun 2019? Saya akan sigap menjawab, Siap pak! Lanjutken....
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H