Ketika berbicara Infrastruktur kita harus berhati-hati dan bijaksana. Infrastruktur tidak berdiri sendiri. Dia seperti “Manusia” Ketika dilahirkan, akan ada banyak pertanyaan. Siapa kelak temannya? Apa yang akan dilakukannya nanti? Apa makna kehadirannya bagi lingkungannya. Dia akan bertumbuh terus menerus dan juga memerlukan dukungan dan pemeliharaan yang berkesinambungan.
Ketika Kita akan membangun “Cold storage” dan Industri perikanan terpadu di Morotai. Akan timbul pertanyaan. Adakah tersedia Listrik untuk mendukung industri tersebut, termasuk jika dia berkembang pesat kelak? Apakah pelabuhan, termasuk Custom memadai untuk mendukung ekspor? Adakah dukungan dari masyarakat untuk industri tersebut? Tersediakah bahan baku yang berkesinambungan untuk mendukung industri tersebut?
Infrastruktur bukanlah proyek dengan IRR jangka pendek, apalagi dengan memakai bunga bank komersial. Akan tetapi dulu ada satu proyek raksasa yang benar-benar akan sulit untuk diwujudkan lagi pada saat ini. Proyek itu bernama PT. Inalum, yang terintegrasi dengan PLTA. Asahan, Pelabuhan bebas Kuala Tanjung dan tentu saja kompleks Perumahan nyaman, yang membuat seluruh karyawan merasa homey.
PT. Inalum terasa aneh, karena bahan baku biji almuniumnya berasal dari Australia, kemudian dilebur di pabrik, lalu kemudian 100% hasilnya diekspor ke Jepang! PT. Inalum ini mirip-mirip Singapura. Bahan baku dari Australia, Listrik dari Asahan, lalu hasilnya dijual ke Jepang. Kelihatan bisnisnya anti teori. Tetapi inilah yang disebut “Visioner!”
Bisnis Peleburan adalah bisnis yang sangat-sangat serius karena membutuhkan listrik yang sangat besar. Jadi mereka tidak boleh berharap kepada PLN atau Pemerintah, kalau tidak mereka akan celaka! Untuk memanaskan “tanur” (tungku peleburan) itu saja butuh tiga hari, agar bisa nantinya melebur bijih aluminium tersebut. Kalau berharap kepada PLN dan listriknya byar pyet, pastilah karyawannya akan “main layangan” di tungku tersebut!
Oleh karena itu, terlebih dahulu mereka membangun PLTA Asahan. Tentulah biaya investasi pertama sangat besar. Akan tetapi biaya perawatan PLTA hampir tidak ada pada bagian “Sipil dan Mekanikal” hanya sedikit pada bagian Elektrikal. Pada ahirnya PLTA itu menjadi “Profit Center” karena sisa listrik yang terbuang sudah “di-ijon” PLN!
PT. Inalum juga sangat beruntung. Pelabuhan mereka adalah pelabuhan alami dengan “draught kapal” yang ideal untuk disinggahi kapal sekelas super tanker. Tidak seperti Pelabuhan lain yang harus rutin dikeruk akibat sedimentasi, Pelabuhan Kuala Tanjung terbebas dari “isu pendangkalan” Kalau PT. Inalum membuka pelabuhannya untuk umum, maka bisa dipastikan Pelindo akan menderita, karena pelabuhan tersebut juga adalah pelabuhan internasional yang dilengkapi dengan kantor Bea-Cukai.
Itulah sebabnya berbicara soal Infrastruktur adalah berbicara soal visi. Orang-orang visioner selalu bisa “melihat sesuatu yang belum kelihatan” Ketika proyek yang “belum kelihatan” itu terbentur dengan “masalah-masalah yang belum kelihatan” atau “direkayasa akan timbul kemudian”, mereka bisa menemukan “solusi yang tidak kelihatan” untuk menyelesaikan masalah pada proyek yang belum berwujud itu!
Kalau analogi tersebut terasa susah untuk dipahami, sebaiknya lupakan saja cerita Infrastruktur tersebut!
Kalau tidak percaya, tanya saja kepada para Founding Fathers kita dulu. Mereka tidak membangun apapun. Mereka hanya orang-orang visioner yang menceritakan visi-visi mereka. Lalu rakyatlah yang membangunnya.
Reinhard Freddy