Presiden terpilih sejak semula telah mencanangkan pembangunan Infrastruktur, terutama di Indonesia Timur demi mengejar kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Tentulah niat yang mulia ini harus disikapi dengan positif, karena inilah problem terbesar yang kita alami sejak masa reformasi, dimana pembangunan infrastruktur tersendat, dan akibatnya kita hanya berjalan di tempat atau malahan berjalan mundur.
Apapun yang terjadi pembangunan atau pemeliharaan infrastruktur tidak boleh berhenti. Karena, sekali infrastruktur berhenti, maka biaya yang dikeluarkan untuk menjalankannya lagi akan bertambah.
Contoh, Biaya “overlay” jalan aspal untuk dua tahun adalah Rp 1 Milyar/km. Tiga tahun berlalu, jalan tersebut tidak di overlay. Akibatnya badan jalan dan bahu jalan terkelupas dan berlubang karena tidak ada lapisan pelindungnya ketika terkena beban, hujan dan panas.
Ketika jalan tersebut akan diperbaiki kembali, biaya yang dikeluarkan mungkin akan lebih dari Rp 2 Milyar/km, karena biaya yang dibutuhkan sudah mencakup pembongkaran badan/bahu jalan, pembelian material untuk badan/bahu jalan tersebut plus biaya overlay. Hal inilah yang tidak pernah disadari oleh banyak pihak dalam melihat persoalan infrastruktur tersebut. Disatu sisi lain, banyak para pejabat di PUPR jaman sekarang, tidak terlalu bernafsu lagi menjadi Pimpinan Proyek, karena ya itu tadi. Proyek yang ditanganinya “rawan” ditanyai oleh KPK, Kejaksaan, termasuk Polisi, LSM atau “wartawan Amplop”
Pertanyaan yang timbul biasanya adalah, Biasanya cost perbaikan jalan adalah Rp 1 Milyar/km, kenapa di proyek ini costnya menjadi Rp 2 Milyar/km. Kalau sipenanya adalah Guru Besar Ilmu Jalan Raya, tentulah gampang menjawabnya. Tetapi kalau sipenanya berlatar Sosial Politik, Hukum atau Ilmu Jurnalistik, agak sukar memang untuk menjelaskannya.
Di negeri kita ini, banyak jembatan yang ambruk hanya gara-gara persoalan sepele. Jembatan baja harus rutin dicek secara berkala. “Torque” /Kekencangan baut diperiksa. “Abutment” dan pilar diperiksa agar jangan terkena erosi atau abrasi. Masih ingat Jembatan Gantung yang ambruk di Tenggarong dulu? Kerugian waktu, korban manusia dan biaya milyaran rupiah akan bisa dielakkan kalu kita bersandar pada “Manual book”
Di PLN juga begitu. Dijaman Soeharto, PLTD hanya untuk cadangan atau untuk daerah-daerah terpencil saja. Sudah lama kita tidak punya PLTG, PLTGU, PLTA atau PLTPB raksasa yang baru. Kebutuhan listrik meningkat dikisaran 7% per tahun, bahkan pada daerah perkotaan bisa mencapai 10% per tahun, sementara pasokan malah berkurang, karena pembangkit yang lama semakin menua. Akibatnya PLN memakai ribuan Genset untuk operasionalnya.
Ketika harga BBM meroket dalam sepuluh tahun terahir, berapa biaya yang dikeluarkan oleh PLN membeli BBM? Coba kalau PLN mempunyai PLTU yang memakai batubara. Kini banyak Tambang batubara yang gulung tikar karena harga batubara yang sangat rendah. PLN jelas ingin membelinya, tapi apa daya PLTUnya belum ada... Kita memang hidup di Negeri penuh pesona.. ironi!
Kinipun situasinya tetap mencekam, karena dibanyak tempat di seluruh Indonesia, keadaan tiba-tiba bisa berubah menjadi gelap. Habis gelap terbitlah terang. Tapi kemudian dalam seketika berubah menjadi gelap lagi! Genset-genset itupun bekerja terlalu keras. Kalau misalnya satu genset bekerja 12 jam sehari non-stop, lalu kemudian istrahat dan di service ringan, agar bisa optimal lagi bekerja untuk esok.
Tetapi kalau genset itu dipaksa bekerja 18 jam non-stop. Apakah yang akan terjadi? Seminggu mungkin genset itu masih bisa bertahan untuk kemudian almarhum. Dan setelah itu, kegelapanpun akan berjalan lebih lama daripada biasanya.
Itulah yang membuat miris. Para pelaksana di lapangan adalah benar-benar orang teknis. Mereka sering “bermuka dua, Wajah yang satu tertawa geli, wajah satunya lagi menangis!” Mereka terlihat seperti orang bodoh, gara-gara boss atau “decision maker” bukan orang Tehnis. Orang Tehnis bersandar pada “Manual book” Para boss itu orang pragmatis yang bersandar pada “perasaan” Ketika perasaannya salah, maka ada banyak anak buah yang bisa dipersalahkan.
Ketika berbicara Infrastruktur kita harus berhati-hati dan bijaksana. Infrastruktur tidak berdiri sendiri. Dia seperti “Manusia” Ketika dilahirkan, akan ada banyak pertanyaan. Siapa kelak temannya? Apa yang akan dilakukannya nanti? Apa makna kehadirannya bagi lingkungannya. Dia akan bertumbuh terus menerus dan juga memerlukan dukungan dan pemeliharaan yang berkesinambungan.
Ketika Kita akan membangun “Cold storage” dan Industri perikanan terpadu di Morotai. Akan timbul pertanyaan. Adakah tersedia Listrik untuk mendukung industri tersebut, termasuk jika dia berkembang pesat kelak? Apakah pelabuhan, termasuk Custom memadai untuk mendukung ekspor? Adakah dukungan dari masyarakat untuk industri tersebut? Tersediakah bahan baku yang berkesinambungan untuk mendukung industri tersebut?
Infrastruktur bukanlah proyek dengan IRR jangka pendek, apalagi dengan memakai bunga bank komersial. Akan tetapi dulu ada satu proyek raksasa yang benar-benar akan sulit untuk diwujudkan lagi pada saat ini. Proyek itu bernama PT. Inalum, yang terintegrasi dengan PLTA. Asahan, Pelabuhan bebas Kuala Tanjung dan tentu saja kompleks Perumahan nyaman, yang membuat seluruh karyawan merasa homey.
PT. Inalum terasa aneh, karena bahan baku biji almuniumnya berasal dari Australia, kemudian dilebur di pabrik, lalu kemudian 100% hasilnya diekspor ke Jepang! PT. Inalum ini mirip-mirip Singapura. Bahan baku dari Australia, Listrik dari Asahan, lalu hasilnya dijual ke Jepang. Kelihatan bisnisnya anti teori. Tetapi inilah yang disebut “Visioner!”
Bisnis Peleburan adalah bisnis yang sangat-sangat serius karena membutuhkan listrik yang sangat besar. Jadi mereka tidak boleh berharap kepada PLN atau Pemerintah, kalau tidak mereka akan celaka! Untuk memanaskan “tanur” (tungku peleburan) itu saja butuh tiga hari, agar bisa nantinya melebur bijih aluminium tersebut. Kalau berharap kepada PLN dan listriknya byar pyet, pastilah karyawannya akan “main layangan” di tungku tersebut!
Oleh karena itu, terlebih dahulu mereka membangun PLTA Asahan. Tentulah biaya investasi pertama sangat besar. Akan tetapi biaya perawatan PLTA hampir tidak ada pada bagian “Sipil dan Mekanikal” hanya sedikit pada bagian Elektrikal. Pada ahirnya PLTA itu menjadi “Profit Center” karena sisa listrik yang terbuang sudah “di-ijon” PLN!
PT. Inalum juga sangat beruntung. Pelabuhan mereka adalah pelabuhan alami dengan “draught kapal” yang ideal untuk disinggahi kapal sekelas super tanker. Tidak seperti Pelabuhan lain yang harus rutin dikeruk akibat sedimentasi, Pelabuhan Kuala Tanjung terbebas dari “isu pendangkalan” Kalau PT. Inalum membuka pelabuhannya untuk umum, maka bisa dipastikan Pelindo akan menderita, karena pelabuhan tersebut juga adalah pelabuhan internasional yang dilengkapi dengan kantor Bea-Cukai.
Itulah sebabnya berbicara soal Infrastruktur adalah berbicara soal visi. Orang-orang visioner selalu bisa “melihat sesuatu yang belum kelihatan” Ketika proyek yang “belum kelihatan” itu terbentur dengan “masalah-masalah yang belum kelihatan” atau “direkayasa akan timbul kemudian”, mereka bisa menemukan “solusi yang tidak kelihatan” untuk menyelesaikan masalah pada proyek yang belum berwujud itu!
Kalau analogi tersebut terasa susah untuk dipahami, sebaiknya lupakan saja cerita Infrastruktur tersebut!
Kalau tidak percaya, tanya saja kepada para Founding Fathers kita dulu. Mereka tidak membangun apapun. Mereka hanya orang-orang visioner yang menceritakan visi-visi mereka. Lalu rakyatlah yang membangunnya.
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H