Haris duduk termangu ditepi ranjang bangsal Rumah sakit umum itu. Sesekali tangannya mengipasi wajah Shinta, putri bungsunya yang sedang sakit typus. Pengapnya ruangan bangsal yang dipenuhi oleh pasien kelas ekonomi bawah itu, tidak menggangu lamunannya.
Untunglah dia sudah mengurus jamkesmas untuk orang-orang miskin, sehingga ia tidak terlalu mengkhawatirkan biaya rumah sakit, karena semua biaya sudah ditanggung oleh Pemerintah. Rasa khawatir memang sudah tidak lagi mengganggu hidupnya, karena sepanjang hidupnya dia selalu berteman akrab dengan rasa khawatir itu.
Dia bekerja hari ini untuk makan hari ini. Stok beras dirumahnya tidak pernah lebih dari kebutuhan tiga hari. Hidupnya selalu pas-pasan. Tidak pernah ada yang bersisa dirumahnya. Hidupnya sangat efisien!
Kalau berurusan dengan rumah sakit, dia memang selalu pasrah. Dulu seluruh keluarganya, termasuk isterinya, pergi meninggalkan dunia ini karena sakit. Mereka tidak pernah mampu untuk membiayai pengobatan yang layak di rumah sakit. Memang begitulah nasib masyarakat bawah pada jaman dahulu.
Haris baru saja menyantap nasi bungkus pemberian ibu Purba, tetangga yang juga perawat di rumah sakit itu. Ibu Purba sangat berbaik hati, selalu memperhatikan kondisi Shinta dan rajin membelikan Haris nasi bungkus. Terkadang Haris “membantu” Shinta menghabiskan sisa makanan rumah sakit yang tidak dihabiskannya. Sayang mubazir, bisiknya dalam hati.
Untuk semuanya itu, Haris selalu berdoa dan mensyukuri berkat Tuhan yang diterimanya. Dia sadar, hidupnya selalu terancam bahaya kelaparan dan bahaya-bahaya lainnya, tetapi dia dan keluarganya tetap mampu menjalaninya. Selalu ada pertolongan dari orang-orang lain yang berbaik hati untuk menolong segala kesulitannya.
Sekarang dia jarang mengeluh, bahkan ia merasa setiap hari hidupnya dipenuhi oleh anugerah dan mujizat. Dia sangat bersyukur, siapakah dia sehingga ada orang-orang yang mau berbaik hati kepada dia dan keluarganya?
Bahkan sekarangpun, Anto, adiknya Shinta, ditinggal seorang diri dirumah. Haris tetap yakin Anto akan tetap baik-baik saja walaupun beras sudah tidak ada lagi dirumah. Karena tetangganya selalu memperhatikan mereka.
Dulu, Haris pernah meninggalkan mereka dua minggu, karena ada pekerjaan dadakan di Cirebon. Anak-anak dititip ke tetangga, dan mereka tetap baik-baik saja. Tuhan selalu menolong mereka. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dulu dia bercita-cita menjadi orang yang berhasil, mimpi yang selalu diharapkan oleh semua orang, baik orang kaya maupun orang miskin. Tapi, dengan hanya mengantongi ijazah SMP, apa yang bisa diharapkannya? Sekarang dia sudah melupakan mimpi-mimpinya yang dulu itu. Sekarang dia berusaha menerima realita kehidupan ini dan mencoba menikmatinya. Itu hanya bisa dicapai dengan belajar mensyukuri semuanya, dan tidak menyalahkan siapa-siapa!
Haris baru saja bertemu dengan pak Burhan, ketika melewati ruang vip rumah sakit tersebut. Pak Burhan seorang kontraktor. Haris sering mendapat job sebagai kuli bangunan di proyek pak Burhan. Pak Burhan sedang menjenguk temannya yang sakit, pak Hartono, orang kaya raya yang sering membantu pak Burhan.
Dulu Haris pernah bekerja di rumah pak Hartono memperbaiki garasi mobilnya. Mobil dirumah pak Hartono sangat banyak, tapi sayangnya, pak Hartono sudah delapan tahun “stroke” dan hanya bisa berbaring di tempat tidur saja. Ketika Haris berpamitan hendak pergi, Pak Burhan menyalamkan lima ratus ribu rupiah kepadanya.
Kalau ketiban rezeki memang susah nolaknya! Bisik Haris sambil bersyukur.
Kini dia mengerti, setiap orang punya berkat, talenta dan kehidupan masing-masing tanpa bisa memilih. Kalau boleh memilih, tentu saja dia lebih suka menjadi “George Clooney” atau “Tom Cruise” tetapi dia cuma Haris tamatan SMP, dan dia harus belajar menerima dan hidup dengan itu!
Tuhan memberikan berkat melimpah kepada pak Hartono, tetapi hanya berkat “memiliki” bukan “menikmati”
Mobil, rumah dan hartanya banyak, tetapi dia tidak bisa menikmatinya, karena dia lebih sering menghabiskan waktunya ditempat tidur rumahnya, atau di ruang “ICU” rumah sakit.
Kini dia mengerti kenapa Tuhan tidak memberikan mobil kepadanya, karena Tuhan tahu, mobil itu akan menyusahkannya saja. Kalau beli beras saja dia susah, bagaimana dia beli bensin? Rumahnya jauh masuk gang kecil, mobil tidak bisa masuk, jadi mobil harus parkir diluar.
Kalau parkir dijalanan dekat rumahnya, ditinggal sebentar saja, kaca spion dan ban mobil itu mungkin saja sudah copot! Kini Haris tertawa geli. Toh kalau mau pergi kemana-mana, dia selalu naik mobil dan supir.... ( karena naik angkutan umum )
Dia sekarang sadar, Tuhan memberikan berkat “Menikmati” kepadanya tanpa harus perlu menerima berkat “Memiliki” dan itu jauh lebih menyenangkan bagi dia sebab dia tahu Tuhan sangat sayang kepadanya dan keluarganya!
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H