Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imperialisme Baru, Reformasi!

18 Mei 2016   12:02 Diperbarui: 25 Mei 2016   11:49 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Don’t ever ever ever start what you can’t finished!

Berahirnya rezim orde baru dengan proses pengunduran diri Suharto secara kontroversial memulai “hiruk pikuk dunia persilatan” di tanah air. Romantisme itu dimulai oleh gerakan mahasiswa yang menduduki kubah gedung DPR/MPR di senayan, yang dianggap sebagai simbol perlawanan, “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!”.

Ketika itu gerakan mahasiswa tersebut dianggap bak sebuah “kalimat sakti, sim salabim!” lalu persoalan selesai, Indonesia merdeka lagi!

Tapi merdeka dari apa!!! Rakyat negara ini memang tetaplah “inlander” dirumahnya sendiri! Bagaimana mungkin bisa “kutu memberaki” sebagian dari negara ini selama tiga ratus lima puluh tahun? Mungkin rakyat di negeri ini ditakdirkan agar tetap menjadi bangsa terjajah. Kalau tidak dijajah bangsa-bangsa lain, pastilah akan dijajah oleh bangsanya sendiri.

Sejarah di Indonesia selalu berulang dan berulang, lalu berahir tragis. Dari sejak jaman “Ken Arok” atau “Sentot” di perang Diponegoro, hingga kini rakyat negeri ini belum mampu benar-benar merdeka!

Berahirnya rezim orde lama pun dimulai oleh Aksi mahasiswa, ketika itu mereka mengucapkan “kalimat ajaib, sim salabim, Ganyang PKI!” lalu dalam seketika musnah lah sebagian pemakan beras dari republik ini. Sebagian dari penduduk itu menjadi pemakan singkong dan jagung di pulau Buru!

Bukankah sebagian dari mahasiswa ganyang PKI itu, “melacurkan” diri menjadi “antek-antek” Suharto? Sebagian dari mahasiswa itu “indehoy” dengan romantisme anak muda, “dimabuk asmara” liberalisme ekonomi pembangunan. Pembangunan membutuhkan “anak muda pintar”, mereka terasa sedikit diantara jutaan kaum “inlander proletar yang tidak makan sekolahan!”

Sebagian dari mahasiswa ganyang PKI itu, “bermetamorfosa menjadi Vampir” dengan mendirikan ormas/organisasi pemuda onderbouw Golkar, yang mendompleng dengan kesuksesan operasi ganyang PKI itu, dengan jalan bersembunyi dibalik “ketek” pancasila! Mereka lalu  menghisapi darah inlander yang tidak dilindungi oleh negara tersebut.

Bagaimana dengan jaman kemerdekaan? Sama saja! Pemuda itu merampok dan melarikan Sukarno-Hatta ke Rengas Dengklok untuk mempersiapkan kemerdekaan. Lalu Indonesia merdeka, karena mereka menyangka “Ratu Adil” akan melakukan “sihirnya” sehingga inlander itu, seketika akan sama dengan “Meneer Londo”.

Apa yang terjadi dimasa kemerdekaan/orla, tidak ada bedanya dengan saat sekarang ini.

Hiruk pikuk multi partai dijaman orla, sebelas duabelas dengan jaman reformasi. Pemberontakan DII/TII bertukar kaos dengan Kelompok Santoso, Poso, Amrozi, atau kelompok teroris apapun namanya. Koruptor di jaman orla, Setali tiga uang dengan koruptor reformasi, nyolong tanpa perlu merasa malu. Dijaman orba, korpsi masih dilakukan secara tersamar dan halus, semulus batik tulis Solo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun